Jumat, 19 Februari 2021

WHEN BUZZER SHOUTED BUZZER

 "Everyone is a buzzer, even though a buzzer for their self"

(@RyaWiedy)

    Beberapa waktu terakhir secara bersamaan sejumlah pihak memprotes eksistensi "buzzer" di media sosial. Sebut saja budayawan Sudjiwo Tedjo, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, politisi PKS Mardani Ali Sera, komisioner KPK Novel Baswedan, Ketua YLBHI Asfinawati, bahkan Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers Arif Zulkifli.  

    Sebenarnya apa dan siapa yang disebut "buzzer" ? Apa bedanya dengan "influencer" ?

    Istilah buzzer sebenarnya mengadopsi satu alat elektronik semacam alarm atau bel listrik. Dalam  Oxford Dictionaries, buzzer didefinisikan sebagai "an electrical device that makes a buzzing noise and is used for signalling" atau satu alat elektronik  yang digunakan untuk membunyikan dengungan, menyebarkan signal, atau tanda tertentu. Fenomena buzzer muncul sebagai konsekuensi era masyarakat berjaringan (network society) dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.

    Centre for Innovation Policy and Government (CIPG) mendefinisikan buzzer sebagai individu atau lembaga yang memiliki kemampuan melakukan amplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian atau membangun percakapan. Umumnya, seorang buzzer mempunyai jaringan yang sangat luas sehingga mampu menciptakan konten sesuai konteks, mampu membangun narasi yang persuasif, dan bergerak atau bertindak atas motif tertentu. Ada dua motif utama yang menggerakkan seseorang atau sebuah akun menjadi buzzer : motif komersial dan motif ideologi.

    Buzzer yang memiliki motif komersial umumnya memang bergerak karena adanya aliran dana dari pihak yang memanfaatkan jasanya. Sedangkan buzzer dengan motif ideologi pada umumnya bergerak atas dasar dukungan atau kesukaan terhadap suatu produk barang atau jasa, ide atau gagasan, termasuk dukungan terhadap kelompok tertentu. Bisa kelompok politik maupun kelompok non politik.

    Pada awalnya buzzer ini sering digunakan dalam konteks marketing produk barang dan jasa, tugasnya mengamplifikasi atau menggaungkan iklan atau promosi melalui media sosial. Tetapi seiring dengan perkembangan konsep marketing yang menyasar pada marketing sosial, marketing ideologi, maupun marketing politik yang didukung oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, keberadaan buzzer kemudian banyak dimanfaatkan juga untuk kepentingan politik. Ini yang kemudian membedakan istilah buzzer dan influencer. Serupa tapi tak sama.

    Yang dimaksud dengan influencer dalam konteks komunikasi media sosial adalah orang yang memiliki pengaruh di media sosial, memiliki jaringan sosial di real life maupun di media sosial. Seorang influencer pada umumnya memiliki banyak followers sehingga informasi-informasinya lebih mudah tersebar dan dipercaya. Informasi-informasi yang disampaikan tidak selalu tentang politik atau membawa misi politik seseorang, sekelompok orang, atau penguasa (rezim). Bisa informasi yang mengajak masyarakat untuk melakukan perubahan ke arah kemajuan yang positis atau aksi yang bermanfaat. Seringkali seorang influencer memiliki skill  atau pengetahuan menonjol tentang satu bidang tertentu sehingga dapat meyakinkan publik, menguasai opini publik, dan sering menjadi rujukan atau sumber informasi bagi pengikutnya.

    Sedangkan yang disebut dengan buzzer adalah orang atau lembaga yang mempromosikan atau mendengungkan sesuatu informasi secara berulang-ulang, bisa informasi mengenai produk barang atau jasa, ide atau gagasan tertentu melalui unggahan di akun media sosialnya. Berbeda dengan  influencer yang pada umumnya merupakan tokoh publik, famous, memiliki kapasitas, kapabilitas, dan kredibilitas dalam bidang tertentu, seorang buzzer tidak terlalu mementingkan identitas dan segala atribut yang melekat pada seorang influencer. Bahkan seorang buzzer  tidak mementingkan apakah ia memahami informasi yang ia dengungkan atau tidak, bahkan apakah informasinya benar atau salah. Tugasnya hanya mengulang-ulang  atau mengamplifikasi sebuah informasi sehingga menguasai mind publik dan bisa menciptakan opini publik.


Konsekuensi Network Society

    Konsep masyarakat berjaringan (network society) muncul sebagai dampak sosial dari era globalisasi dan kemajuan teknologi komunikasi elektronik dalam masyarakat. Manuel Castell  dalam buku The Rise of The Network Society (2014) mendefinisikan masyarakat berjaringan (network society) sebagai  "masyarakat yang struktur sosialnya terdiri dari jaringan yang didukung oleh teknologi informasi dan komunikasi berbasis mikro-elektronik". Konsep masyarakat berjaringan ini sebenarnya merupakan konsep lama, hanya saja di dalam struktur masyarakat berjaringan saat ini proses untuk membangun dan mempertahankan hubungan antar individu dalam jaringan difasilitasi oleh teknologi informasi dan komunikasi yang terus mengalami perkembangan.

    Ada tiga hal yang menurut Castell menjadi penyebab munculnya struktur sosial baru di akhir abad 20 ini :

  1. Restrukturisasi ekonomi khususnya dibidang industri yang mendorong terbentuknya pasar terbuka secara global
  2. Maraknya gerakan sosial yang memperjuangkan kebebasan dan hak-hak sipil termasuk gerakan feminis (gender mainstream)
  3. Revolusi dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi
Ketiga hal ini menurut Castell memiliki andil besar dalam menciptakan paradigma baru dalam hal kerjasama  antar negara melalui pasar terbuka. Kemajuan  dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi mempermudah proses globalisasi termasuk berkembangnya nilai-nilai kebebasan berpendapat dan membawa implikasi pada munculnya struktur baru dalam masyarakat termasuk struktur jaringan komunikasi secara terbuka. Teknologi internet dan telepon seluler  adalah faktor kunci yang menjadi penghubung antar individu sehingga globalisasi berlangsung secara cepat.

    Struktur dalam jaringan komunikasi ini kemudian membentuk pembagian "kelas" antara siapa yang menjadi sumber informasi atau kelompok rujukan, siapa yang menjalankan instruksi berdasarkan informasi, dan siapa yang menjadi unrelevant group atau kelompok yang tidak berkontribusi signifikan dalam jaringan. Nah... dari sini kita akan terhubung dengan teori jaringan komunikasi yang dikembangkan oleh Paul Lazarsfeld, Robert K. Merton, Everett M. Roger, Linton C. Freeman, dan masih banyak lagi ilmuwan yang semuanya berbasis pada keilmuan Sosiologi dan mengambil fokus pada kajian tentang perubahan sosial.

    Secara prinsip, teori jaringan komunikasi menjelaskan bagaimana proses terbentuknya fenomena komunikasi yang berkaitan dengan relasi antar aktor dalam jaringan, menunjukkan posisi dan kekuatan masing-masing aktor dalam sebuah struktur jaringan, dan membandingkan peran aktor dalam sebuah struktur jaringan dan antar struktur jaringan. Dalam teori jaringan komunikasi, aktor yang menjadi pusat informasi dinamai star yang berperan sebagai opinion leader. Opinion leader ini adalah tokoh publik yang berperan mempengaruhi masyarakat dan menjadi rujukan bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi mengenai sesuatu hal yang pada gilirannya membawa masyarakat pada sebuah proses perubahan sosial.

    Yang bisa menentukan terjadinya perubahan sosial berdasarkan teori ini adalah "kekuasaan" , yakni kemampuan  untuk memaksakan keinginan seseorang atau sekelompok orang terhadap orang lain. dalam konteks masyarakat berjaringan, yang dimaksud kekuasaan adalah kontrol atau pengaruh atas proses komunikasi. Itu sebabnya konektivitas dan akses ke jaringan sangat penting bagi kelompok sosial tertentu agar bisa memaksakan nilai-nilai dan tujuan mereka kepada masyarakt luas. Bisa juga "pemaksaan"ini dilakukan dalam rangka  melawan dominasi kelompok lain.

    Naaah..... dalam konteks masyarakat berjaringan di ruang digital, posisi star atau  opinion leader inilah yang biasa kita kenal sebagai buzzer dan influencer. Mereka ini adalah orang-orang yang memunculkan satu narasi tertentu dan mengamplifikasi narasi tersebut sehingga melekat di mind publik lalu menghasilkan opini publik yang menguasau ruang digital di media sosial.


Setiap Orang adalah Buzzer

    Di era masyarakat berjarinan seperti sekarang, konektivitas antar individu maupun organisasi baik dalam konteks ekonomi, politik, maupun sosial-budaya nyaris tanpa sekat. Internet memungkin informasi yang ada di area publik masuk ke ruang-ruang privat melalui perantaraan alat komunikasi yang teknologinya terus berkembang menjadi media konvergens. Kondisi seperti ini tidak terjadi pada masyarakat tradisional dimana hubungan antar individu dipisahkan oleh ruang geografis dimana dalam setiap ruang geografis berlaku norma, adat istiadat, dan budaya yang harus ditaati. Setiap individu yang masuk ke dalam ruang geografis itu harus menyesuaikan diri dengan berbagai aturan yang berlaku.

    Dalam masyarakat global seperti sekarang, sekat-sekat geografis itu nyaris tak ada. Dari ruang privat kita bisa terkoneksi dengan milyaran individu dari berbagai penjuru dunia. Dengan sendirinya aturan-aturan yang berlaku di semua ruang geografis menjadi tidak berlaku di ruang digital, melebur dalam satu moral landscape baru yang mengatur perilaku dan interaksi antar individu dalam tatanan masyarakat berjaringan di ruang digital global. 

    Banyak persoalan baru dalam praktik komunikasi di era ini, lebih disebabkan karena gap yang sangat lebar  antara kecepatan perkembangan teknologi komunikasi dengan kemampuan orang memanfaatkan teknologi  komunikasi. Media sosial online mengunakan perangkat utama telepon seluler meskipun bisa menggunakan perangkat lain seperti laptop dan tablet. Dengan teknologi yang semakin canggih, perangkat komunikasi ini memberikan banyak fitur cerdas yang sebenarnya bertujuan memudahkan kinerja penggunanya. Sayangnya, kecerdasan teknologi tidak selalu dibarengi oleh kecerdasan penggunanya. Bagi praktisi strategi komunikasi, kondisi ini membawa keuntungan dan menjadi sebuah peluang. Sebuah informasi tidak hanya disebarkan, tetapi juga dimodifikasi sedemikian rupa sesuai tujuan pemberi informasi. Dan dari sini kita bisa melihat dengan jelas bagaimana buzzer  dan  influencer  bekerja. 

    Dalam perspektif komunikasi, kita kan melihat proses komunikasi di ruang digital ini dalam dua bentuk : komunikasi satu arah (one way communication) dan komunikasi banyak arah (multy-directional communication). Jika komunikasi berlangsung satu arah, maka konten pesan  hanya akan diterima mentah-mentah oleh penerima pesan. Ini sama dengan teori klasik hypodermic needle, pesan diinjeksikan ke penerima pesan dengan asumsi penerima pesan bersifat pasif tanpa bersikap kritis. Di dalam sebuah jaringan komunikasi, karakter komunikasi yang seperti ini menunjukkan anggota jaringan yang lemah, dan bahkan dapat dilemahkan oleh pemberi pesan. Di ranah ini  buzzer bekerja. Tidak penting apapun isi kontennya yang penting diamplifikasi, digaungkan berulang-ulang sehingga tertanam dengan baik di benak publik.

    Jika komunikasi dilihat sebagai proses edukasi yang melibatkan diskusi antar anggota dalam jaringan, maka peluang untuk mengembangkan ide-ide baru yang lebih inovatif bisa diharapkan terjadi. Setiap anggota jaringan saling memberi kontribusi pemikiran dan berbagi pengetahuan yang memberdayakan sehingga individu dan komunitas dalam jaringan semakin meningkat kualitas pengetahuannya. Di ranah ini seorang influencer terlibat aktif dalam diskusi karena memiliki pengetahuan yang cukup mengenai konten pesan yang didiskusikan. Orang yang berposisi sebagai influencer  ini bisa sekaligus sebagai buzzer yang bertujuan menanamkan sebuah pengetahuan atau nilai-nilai di benak publik.

    Model jaringan komunikasi yang seperti ini bisa menjadi modal sosial yang baik untuk mendorong sikap atau dukungan publik terhadap sebuah kebijakan, inovasi baru, atau gagasan-gagasan yang ingin dikembangkan  termasuk dukungan terhadap sebuah produk barang atau jasa tertentu. Itu sebabnya setiap kelompok atau organisasi selalu memiliki buzzer atau influencer, baik yang dibayar maupun yang tidak dibayar. 

Pun setiap orang sejatinya adalah buzzer untuk dirinya sendiri, karena dengan mengkomunikasikan ideologi, nilai-nilai yang dianut, atau pengetahuan tertentu melalui akun media sosial miliknya, sesungguhnya ia sedang berusaha melakukan positioning sehingga akunnya teridentifikasi dalam sebuah jaringan. Seseorang dapat membawa nilai-nilai pribadi yang ditawarkan kepada publik termasuk menyebarkan informasi dan inovasi baru yang bermanfaat untuk publik. Sebagaimana dalam ilmu publik relation berlaku teori bahwa setiap orang adalah PR bagi dirinya sendiri, demikian juga buzzer dan influencer.  Konten pesan yang dibawa menjadi identitas bagi dirinya sekaligus mewarnai identitas kelompok dalam jaringan dimana ia terlibat sebagai anggota. 

    Naah, stigma buruk yang sekarang melekat pada aktor bernama buzzer ini sesungguhnya terkait dengan konten pesan yang diusung. Peran buzzer sebagai penggaung informasi yang efektif di media sosial dan semula digunakan untuk tujuan marketing kini bergeser sebagai pelaku propaganda  terutama sejak digunakan dalam kampanye dukungan politik. Stigma semakin buruk ketika konten pesan yang didengungkan berisi dukungan membabi-buta terhadap pihak tertentu, berisi hasutan bahkan hoaks sehingga merusak nalar publik, dan paling parah digunakan untuk menyerang kelompok yang berseberangan.

    Meski demikian kita tidak bisa mengingkari fakta bahwa  semua pihak memiliki buzzer dan influencer. Tidak semua buzzer buruk. Yang menentukan pakah buzzer itu baik atau buruk adalah konten pesan yang digaungkan. Maka tidak tepat jika kita memberi label pada orang lain sebagai buzzer karena mendukung nilai-nilai atau kelompok yang bersebarangan dengan kita, sementara kita sendiri mendengungkan nilai-nilai atau kelompok yang berseberangan dengan orang lain. 

    It's funny when buzzer shouted buzzer. 



References :

https://www.soas.ac.uk/cedep-demos/000_P523_MKD_K3637-Demo/unit1/page_10.htm
https://tirto.id/apa-itu-buzzer-politik-arti-strategi-sejarah-dan-pola-rekrutmen-gaaE
https://content.sciendo.com/downloadpdf/journals/linpo/59/1/article-p65.pdf



Selasa, 09 Februari 2021

WHEN BAD NEWS IS GOOD NEWS


"When a dog bites a man, that's not news. 
But, when a man bites a dog, that's news"
(Charles Anderson Dana)


     Ungkapan  "Bad News is Good News" dan "When a dog bites a man, that's not news. But, when a man bites a dog, that's news" adalah prinsip pertama yang diajarkan di kelas-kelas jurnalistik, menjadi pegangan bagi jurnalis-jurnalis pemula, bahkan masih populer hingga saat ini termasuk menjadi "senjata pembenar" bagi karya jurnalistik yang alih-alih mengkritisi situasi sosial, tapi sebenarnya hanya mencari sisi negatif dari setiap peristiwa.
    Sebuah kalimat yang berkonotasi negatif dan  sensasional memang selalu menarik untuk dibaca. Prinsip jurnalistik ini pertama kali konon dikenalkan oleh Charles Anderson Dana, seorang jurnalis senior di New York sekitar tahun 1800-an. Tapi beberapa sumber literatur menyebut ada beberapa jurnalis senior ternama di The New York Sun yang juga menggunakan kata-kata serupa untuk mendefinisikan "What is News?" Tetapi dalam dunia jurnalistik,  Charles A. Dana inilah yang kemudian dianggap sebagai orang pertama yang mendefinisikan news dengan kalimat itu sekaligus sebagai orang pertama yang memperkenalkan konsep jurnalistik modern. 

Siapakah Charles Anderson Dana ini ?

    Charles Anderson Dana lahir di Hinsdale, sebuah kota kecil di tepi barat Chicago pada tahun 1819. Ayahnya seorang pedagang kecil. Ketika bisnis tidak berjalan baik, keluarga Dana pindah ke New York. Sebuah wabah membuat Dana kehilangan ibunya, dan sebagai anak tertua di keluarganya Dana harus ikut mencari nafkah dengan bekerja sebagai penjaga toko milik pamannya, David Denison, di Vermont ~ bagian timur Amerika Serikat. Saat itu usianya baru 9 tahun.

    Charles A. Dana adalah sosok pemuda yang cerdas dan rajin. Hidup dalam kemiskinan tidak menghentikan semangat untuk belajar. Ia termasuk pelajar berprestasi, yang terpaksa berhenti sekolah karena kekurangan dana. Berbekal uang tabungan hasil bekerja sebagai penjaga toko dan ketertarikannya terhadap sastra klasik dan bahasa  mengantarkannya  untuk belajar di Harvard College. Ia juga belajar bahasa Latin dan Yunani secara otodidak. Sayangnya, masalah keuangan dan penglihatan membuat ia harus berhenti dari Harvard College dan melanjutkan studi ke Jerman yang berbiaya lebih murah dan meghidupi diri dengan mengajar bahasa Inggris. Lagi-lagi Charles A. Dana harus gagal menyelesaikan studi karena kesehatan mata yang makin parah. Akhirnya ia bergabung dengan komunitas transendentialis yang mendirikan Brook Farm, bergerak dibidang pertanian. Disini Charles A. Dana kemudian bertemu dengan Eunice Macdaniel dan menikah pada tahun 1841. 

    Di Brook Farm, Charles A. Dana memulai karir menulis dengan menjadi penulis dan editor untuk buletin komunitas The Harbinger yang beredar di luar komunitas dan mendukung prinsip-prinsip reformasi sosial. Dari sini Charles mengembangkan korespondensi dengan editor New York Tribune, Horace Greeley yang juga pendukung transendentialisme dan prinsip-prinsip sosialis Brook Farm. Maka ketika Brook Farm bubar, Charles pun direkrut menjadi staf Tribune. Ini terjadi  bersamaan dengan terjadinya revoluasi disejumlah negara termasuk Jerman dan Perancis. Debut Charles Dana di Tribune dimulai ketika menulis hasil wawancara dengan pemimpin-pemimpin pergerakan termasuk Karl Marx.

    Perbedaan sikap politik antara Charles dengan Greeley terkait pertikaian sipil di negara bagian selatan Amerika Serikat membuat Charles diberhentikan dari Tribune dan sejak itu Charles mulai terlibat dalam politik bahkan menjadi kepercayaan Abraham Lincoln untuk melakukan investigasi dalam tubuh militer Amerika Serikat. Usai perang Charles A.Dana kembali ke dunia jurnalistik dan menjadi editor senior di koran The New York Sun. Koran ini dikenal memberikan dukungan terhadap pemilihan Jenderal Ulysses S. Grant sebagai presiden Amerika Serikat ke-18, tetapi kemudian secara perlahan mengalihkan dukungan ke Partai Demokrat setelah Grant banyak melakukan penyimpangan saat menjabat.

Tentang Nilai Sebuah Berita

    Sebenarnya tidak diketahui secara pasti, siapa orang pertama yang mencetuskan adagiom "Bad News is Good News". Tetapi beberapa sumber literatur menyebut asal frasa itu bersumber dari Raja Inggris James I yang menyebut  "No news is better than evil news" (1616). Kata-kata ini yang kemudian diterjemahkan bahwa berita yang baik adalah mengenai sesuatu yang buruk. 

    Sama dengan adagiom "When a dog bites a man, that is not news. But when a man bites a dog that is news" yang juga tidak diketahui siapa pertama kali pencetusnya, tetapi beberapa sumber literatur menyebut kalimat yang digunakan untuk mendefinisikan "What is News?" ini memang familiar di kalangan jurnalis The New York Sun sekitar tahun 1800an. Sebut saja John B. Bogart, Amos Cumming, dan Charles A. Dana. Ada pula sumber yang menyebut Alfred Harmsworth, yang kemudian dikenal sebagai Lord Northcliffe, juga dianggap sebagai orang pertama yang menggunakan adagium itu untuk membuat definisi apa itu News.

    Dalam sebuah buku berjudul "The Stolen Story and Other Newspaper Stories" yang ditulis oleh Jesse Lynch Williams pada tahun 1899, pepatah tersebut diucapkan oleh karakter fiksi bernama "Billy Woods" dalam sebuah bab berjudul "The Old Reporter" . Woods bukan jurnalis yang berpendidikan tinggi, ia hanya berbekal pengalaman. Tulisan-tulisannya berbobot dan jika ditanya oleh jurnalis-jurnalis muda bagaimana mendapat berta bernilai tinggi, dengan cara yang sederhana dan mudah dipahami,  ia menggambarkan "Seekor anjing menggigit seorang pria' — itu sebuah cerita; 'Seorang pria menggigit anjing' — itu cerita yang bagus.  Buku ini mengantar Jesse Lynch Williams mendapat penghargaan Pulitzer, tetapi banyak yang beranggapan bahwa Jesse bukanlah orang yang pertama menggunakan pepatah itu, hanya mendengar sering diucapkan orang lalu menggunakan pepatah itu dalam bukunya.

    Versi lain menyebut, pepatah ini muncul dari statemen Charles A. Dana yang ditulis oleh sebuah koran di The Buffalo Commercial New York pada tahun 1902. Sebagaimana dirilis ulang dalam sebuah tulisan di Omaha Nebraska, ketika ditanya oleh Richard Harding Davis apa yang disebut berita, Charles A. Dana menjawab, "If you should see a dog biting a man, don't write it up. But if you should see a man biting a dog, spare not money, men, nor telegraph tolls to get the details to the Sun office." Tulisan inipun mendapat banyak tanggapan yang mengklaim pepatah itu berasal dari pernyataan Doc Wood. Menariknya, pernyataan aslinya tidak semenarik pepatah yang sudah beredar, dan nama yang disebutkan menyerupai nama karakter fiksi  dalam novel  The Old Reporter "Woods". Begini tertulis di Chicago Chronicel  : "Jika Anda melihat seekor anjing berlarian di Broadway dengan kaleng yang diikat di ekornya, itu tidak ada artinya. Tetapi jika Anda melihat seekor anjing dengan kaleng diikat ke ekornya — berjalan di Broadway, itu sangat berharga"

    Pepatah ini memang pada akhirnya digunakan banyak penulis dan peneliti ketika menulis tentang definisi jurnalistik,  tetapi kemudian definisi yang diungkapkan Charles A. Dana-lah yang paling sering digunakan untuk mendefinisikan apa itu berita. Pada 1917, dalam sebuah terbitan berkala "The Bookman" nama Charles A. Dana digunakan dalam kutipan definisi berita, dan kutipan itu digunakan di Oxford Dictionary of Quotations dan  Yale Book of Quotation. Prinsipnya, suatu peristiwa akan memiliki nilai berita apabila peristiwa itu tidak biasa dan diluar dugaan atau diluar ekspektasi. Definisi ini berkembang dengan munculnya statemen Arthur Brisbane (1912) dengan menambahkan bahwa berita itu tidak hanya melaporkan kejadian, tetapi juga bisa menciptakan kejadian, "If a dog bites a man it isn't news. But, if a man bites a dog, it is. Whenever you can't find a man biting a dog, go and bite one yourself."


Memaknai Definisi Berita A La Dana

    Dalam sebuah diskusi membahas soal ujian mid semester tentang kondisi pers di Indonesia, saya menyampaikan bahwa saya prihatin dengan dunia jurnalistik di Indonesia saat ini. Selain maraknya click bait di media-media online yang seringkali menyesatkan pembaca karena judul berita yang terlalu bombastis untuk informasi yang biasa-biasa saja, juga karena banyaknya berita prematur yang sengaja diedarkan dan menimbulkan kegaduhan, termasuk berita-berita sepihak yang tidak cover both side sehingga menyalahi prinsip-prinsip jurnalistik bahkan etika jurnalistik, dan juga keterlibatan media dalam keberpihakan kelompok politik tertentu yang membuat independensi media dipertanyakan dan obyektivitas berita diragukan. 

    Seorang mahasiswa mengungkapkan pendapatnya," Bukankah kinerja media memang seperti itu, bu ? Bad news is good news." 

    Saya memulai dari pernyataan riset Jeremy Iggers, bahwa ketidakpuasan publik terhadap pemberitaan media sering kali disebabkan oleh tidak terpenuhinya standar etika profesi jurnalis. Tetapi bagaimana jika kesalahan justru berawal dari standar etika itu sendiri ? Sekali waktu kita perlu mencermati UU  No 40 tahun 1999 tentang Pers dan UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran serta Kode Etik Profesi Jurnalistik. Kalau diperhatikan, aturan-aturan mengenai pers lebih banyak menghindari isu-isu penting yang berkaitan dengan kepentingan publik, tanggung jawab sosial pers terhadap publik, bahkan menghindari sanksi yang harus diterima pers jika melanggar  UU atau Kode Etik Profesi. Kepemilikan media dan organisasi media yang membuat kepentingan ekonomi menjadi lebih besar dibanding kepentingan ideal pers, tanpa disadari terus menggerus profesionalisme pers.

    Lalu kita akan berbicara mengenai masyarakat demokratis. Banyak insan pers yang selalu memaksakan pemahaman bahwa indikator sebuah negara dianggap demokratis itu ditandai dengan kemerdekaan berpendapat dan kebebasan pers. Tetapi sesungguhnya memaksakan kebebasan berpendapat dan kebebasan pers tanpa memperhatikan hak masyarakat untuk  mendapatkan informasi yang benar dan berimbang, tanpa memperhatikan kewajiban mencerdaskan kehidupan masyarakat justru membuat pers menjadi liberal bahkan pers yang otoriter, bebas tapi tidak mau dikontrol. Apakah kondisi membaik dengan "mendewakan" kebebasan pers ? Faktanya banyak institusi media yang gulung tikar, ditambah lagi dengan era media online dan masyarakat berjaringan yang membuat citizen & netizen journalistic merajai kehidupan sehari-hari masyarakat dan semakin meninggalkan media massa. 

    Seperti yang disampaikan Iggers, ketidakpuasan masyarakat sehingga meninggalkan media lebih disebabkan karena tidak dipatuhinya standar etika jurnalistik. Ketika masyarakat makin cerdas, tingkat literasi makin tinggi, pers juga harus mengimbangi dengan meningkatkan kualitas produk jurnalistik. masyarakat dan pers atau media itu seharusnya saling mendukung, saling menunjang. Maka membuat kode etik jurnalistik harusnya dimulai dengan mempertimbangkan peran media untuk menciptakan masyarakat yang demokratis dan sekaligus menyediakan cara bagaimana agar media berkontribusi pada penyelesaian masalah-masalah sosial. 

    Memang harus diakui, munculnya pepatah bad news is good news tidak lepas dari karakter manusia yang lebih meng-endorse informasi-informasi yang menakutkan ketimbang informasi yang menyenangkan. Sesungguhnya banyak indikator yang bisa digunakan untuk mengukur nilai sebuah berita, dimana sebuah berita dianggap memiliki nilai (news value) tinggi apabila menyangkut hal-hal berikut : 
  1. Magnitude (seberapa banyak sebuah berita atau informasi mempengaruhi masyarakat),
  2. Importance/significance ( seberapa penting sebuah peristiwa atau informasi bagi masyarakat),
  3. Proximity (kedekatan sebuah peristiwa baik secara geografis, ideologis, maupun secara psikologis dengan masyarakat), 
  4. Actuality/immediacy/newnews (baik aktual waktu maupun aktual persoalan), 
  5. Impact (seberapa besar sebuah peristiwa membawa dampak bagi masyarakat), 
  6. Unusualness (hal luar biasa, kejadian diluar dugaan atau sesuatu yang aneh/unik), 
  7. Prominance (menyangkut public figure), 
  8. Human interest ( peristiwa atau informasi yang menyentuh rasa kemanusiaan dan menimbulkan simpati) 
  9. Conflict (pertikaian)
  10. Sex, 
  11. Crime (kriminal)
  12. Humor  
  13. Trend (sesuatu yang viral)
    Nah, dengan sebegitu banyak indikator yang bisa menentukan nilai sebuah berita, haruskan kita mencari sisi bad news agar bisa mendapat sebuah good news ? Contoh, berita mengenai wabah. Tentang wabah itu sendiri sudah menjadikan berita bernilai tinggi karena menyangkut nasib banyak orang, aktual, penting, menumbuhkan awareness masyarakat. Cukuplah memberi informasi yang bisa membuat masyarakat tidak panik tetapi sekaligus waspada menghadapi wabah. Bukan malah memberikan informasi-informasi hyperreality yang menciptakan kegaduhan, suasana ketidakpastian, dan rasa pesimis dalam masyarakat.
       
    Mencari sisi buruk suatu kejadian harusnya ditujukan untuk upaya memperbaiki situasi sosial. Misalnya berita mengenai banjir dan perilaku masyarakat yang masih membuang sampah di saluran air. Memang bad news, tetapi ditujukan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat agar menjaga saluran air tidak dipenuhi sampah. Jadi, memaknai bad news is good news bukan dalam rangka menjustifikasi satu pihak, sekelompok orang, atau suatu kejadian.  Mengkritisi tanpa menjustifikasi. Dan memang pada dasarnya sebuah berita itu harus netral, berimbang, tidak memihak, tidak bercampur opini. Framing boleh, tetapi kaidah dan etika jurnalistik tetap harus diperhatikan.

    Demikian juga memaknai when a dog bites a man that's not news, but when a man bites a dog that is news sebenarnya lebih merujuk pada sebuah peristiwa atau kejadian yang luar biasa, menyentuh sisi-sisi yang tidak biasa dari sebuah pemberitaan, thinking out of the box, dan tetap harus ditujukan pada itikad baik untuk mencerdaskan masyarakat, memberikan informasi yang benar dan obyektif, serta memberikan kritik yang konstruktif agar terjadi perbaikan situasi sosial. 


Surakarta, 9 Pebruari 2021

 
    

Reference

https://www.researchgate.net/publication/324691223_Good_News_Bad_News_Journalism_Ethics_and_the_Public_Interest
http://brattleborowords.org/project/charles-anderson-dana-the-charles-dana-bridge-hinsdale-nh/
https://quoteinvestigator.com/2013/11/22/dog-bites/






SEKOLAHKU ADA DI TUMPUKAN BUKU

  "A wealth of information creates a poverty of attention" Herbert A. Simon ~ Pemenang Hadiah Nobel di bidang Ekonomi, 1978 Sudah ...