Kamis, 14 Oktober 2021

SEKOLAHKU ADA DI TUMPUKAN BUKU

 

"A wealth of information creates a poverty of attention"

Herbert A. Simon ~ Pemenang Hadiah Nobel di bidang Ekonomi, 1978


Sudah bukan rahasia lagi, minat baca di Indonesia memang rendah. Survey yang dilakukan Organization for Economic Cooperation and  Development (OECD) dalam Program for International Student Assesment (PISA) pada tahun 2019 lalu menunjukkan minat baca masyarakat Indonesia ada di peringkat 62 dari 70 negara yang disurvey. Sementara, di tahun yang sama UNESCO menyebut minat baca hanya seperseribu. Artinya, dari seribu orang hanya ada satu saja yang punya minat baca. Selebihnya ada di spektrum minat baca rendah sampai sedang. Meski tidak terlalu menggembirakan, Indeks Kegemaran Membaca masyarakat Indonesia sudah mengalami peningkatan dari 26,5 pada tahun 2016 menjadi 55,74 pada tahun 2020, dengan range skor 0-100.

Keterbatasan sumber bacaan dan mahalnya harga buku bacaan seringkali dianggap sebagai penyebab rendahnya literasi atau minat baca masyarakat Indonesia. Tetapi asumsi ini tentu saja tidak lagi relevan untuk era internet saat ini dimana sumber pengetahuan sudah seperti udara yang kita hirup setiap tarikan nafas. Bahkan semburan informasi membuat kita overload sehingga banyak informasi yang tidak sempat kita perhatikan. Ya...kita ada di medan magnet informasi dan hanya informasi yang relevan dengan kebutuhan kita saja yang akan kita akses. 

Rendahnya minat baca masyarakat Indonesia menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan rendah daya saing SDM, rendah Indeks Pembangunan Sumber Daya Manusia (IPM), rendah inovasi, rendah income perkapita, bahkan sampai rendah indeks kebahagiaan. Saya ada cerita tentang bagaimana minat baca yang tinggi bisa membuat seseorang mengatasi hampir semua akibat negatif dari rendah baca. Bahkan dengan tingkat pendidikan yang hanya D1, kegemaran membaca mengantar seorang kawan baik ini ke posisi General Manager sebuah perusahaan jasa konsultan hospitality ternama di Jakarta. 

ANTARA BUKU DAN ILMU

Saya mengenal Ade Sudandyo sebagai sesama penggemar buku. Biasanya kami "mojok" di sembarang tempat yang memungkinkan untuk asyik membaca dan minum kopi, lalu diskusi.  Ade dengan buku-buku manajemen, saya dengan buku-buku komunikasi. Kadang kami asyik baca novel juga atau resume alur cerita film. Bagaimana latar belakang keilmuan yang berbeda bisa membuat kami nyambung ? Ya..karena sama-sama antusias pada bacaan, sehingga bagi kami membaca buku apapun seolah menjadi pertemuan dalam ruang kelas dimana banyak ilmu bisa kami dapat dan banyak materi bisa kami diskusikan. Lagipula, sebagai pengajar di jurusan Ilmu Komunikasi, memang ada mata kuliah yang kontennya mengandung keilmuan manajemen. Dalam bahasan-bahasan materi soal ini, saya sering menimba ilmu pada Ade Sudandyo. 

            Ade seperti seorang guru bagi saya. Dia bukan seorang profesor yang menguliti ilmu manajemen dari bangku kuliah. Ade hanya lulusan D1 dan ini menjadikannya sosok yang luar biasa di mata saya. Maka ketika Refli Harun membandingkan Presiden Joko Widodo dengan Anies Baswedan berdasarkan gelar dan tingkat pendidikan, saya termasuk orang yang tidak sependapat. Bagi saya pencapaian sukses seseorang tidak tergantung pada seberapa tinggi kemampuan akademis, meskipun seringkali jenjang akademis menunjang sukses. Tapi ia hanya salah satu faktor penunjang saja. Faktor utama adalah disiplin, kerja keras, dan komitmen yang tinggi untuk mencapai sukses yang diinginkan, atau menjadi hebat sesuai definisi yang ditetapkan.

Menarik prinsip yang dipegang oleh kawan saya ini. “ Saya paham, saya punya kekurangan (hanya lulusan D1). Sementara kompetitor saya secara jenjang pendidikan lebih hebat dari saya. Dari kekurangan ini, maka effort yang harus saya lakukan mesti berkali lipat untuk bisa menyamai bahkan melebihi mereka.” Sikap mas Ade ini mengingatkan saya pada sebuah quote bagus yang tertulis di sebuah buku agenda yang saya dapatkan dari sebuah bank :

DON’T BE A DREAM, BE A DREAMER

Setiap kita, pasti memiliki impian dan seringkali membayangkan berhasil merealisasikan impian kita. Membangun sebuah impian tidak sama dengan mengkhayal. Saat mengkhayal, kita boleh membayangkan capaian yang setinggi langit. Tetapi tidak dengan bermimpi. Menggapai sebuah impian diperlukan usaha, dan karenanya membangun impian harus sesuai dengan modal yang dimiliki. Ini yang dilakukan mas Ade Sudandyo, ketika menjalani karir karena harus bersaing dengan mereka yang latar belakang pendidikannya lebih tinggi dari dirinya.

BOOK TAKES YOU TO A LIMITLESS JOURNEY

Sore itu kami tak sedang membahas tentang konsep manajerial  sebagaimana yang sehari-hari digeluti oleh mas Ade Sudandyo. Masih soal aktivitas mojok membaca buku sambil ngopi, lalu diskusi sebagaimana biasa kami lakukan. Meski saya tidak banyak belajar tentang ilmu manajemen, kali ini obrolan kami seputar bagaimana dari hoby membaca buku telah membuat Ade menemukan satu konsep manajemen diri yang saat ini ia terapkan dalam menjalankan pekerjaannya. Ia menggambarkan dalam bentuk piramida kekuatan (Pyramid of Strength) seperti berikut : 

Credit: Ade Sudandyo

Dalam diri seorang pemimpin, setidaknya ada 3 kekuatan yg harus dimiliki, yakni kekuatan dari kecerdasan, personalitas, dan mentalitas. Ketiga kekuatan ini saling menunjang yang jika diterapkan bersama-sama akan menjadi kekuatan yang lengkap bagi seorang pemimpin. Jika dijabarkan, penjelasannya akan seperti ini :


1. The strenght of intelligence

Secara sederhana, kekuatan inteligensia ini dimaknai bahwa seorang pemimpin semestinya tidak kalah cerdas, tidak kalah cerdik, bahkan dalam bahasa kasar tidak boleh kalah culas dibanding anak buah. Itu sebabnya belajar “membaca” itu menjadi sangat penting. Membaca buku, membaca karakter orang, membaca data, membaca situasi, membaca pergerakan, semuanya. “Just so I know and I can control the whole situation.” Dalam piramida diatas nampak bahwa kecerdasan ada di puncak, atau di posisi paling atas tapi porsinya paling kecil dibanding kekuatan yg lain (lihat bidang A dibanding bidang B dan C). Porsi kecil tapi paling utama inilah yang membuat seorang pemimpin harus terus belajar, dan yang paling sederhana tapi butuh pembiasaan dan ketelatenan adalah membaca buku.


 

2. The strenght of personallity

Perusahaan adalah sebuah entitas sekaligus unit sosial. Banyak hal, banyak orang yg berinteraksi dengan kita. Hakekat management adalah GETTING THINGS DONE WITH OR THROUGH PEOPLE. Bagaimana kita berinteraksi dengan atasan, bawahan, teman sejawat, bahkan orang luar, akan menentukan sukses atau tidaknya kita. Untuk hal ini, mas Ade membuat satu analogi begini : roti di Monami itu sama lezat dengan yg di jual breadtalk. Tapi, breadtalk lebih terkenal dan laku. Why?Karena breadtalk membungkus rotinya lebih cantik, dan menyajikannya dengan cara yg cantik pula.


Begitu juga kita. Hakikat manajemen pada dasarnya adalah bagaimana kita bersinergi dengan orang lain dalam tim, sehingga bisa mencapai tujuan bersama secara lebih efektif. Mas Ade me bahasakannya dengan NJALUK TULUNG ke orang lain. Maka seorang pemimpin atau manajer yang baik akan berusaha "membungkus" diri sendiri dengan lebih baik. Dengan sikap yg baik, penampilan yg baik, kemampuan yg baik. “Sudah sewajarnya jika kita minta tolong, ya mesti dengan cara yg baik.”Mendasar sekali. Oleh sebab itu, kekuatan ini porsinya lebih besar. Intinya, bungkuslah diri kita dengan sikap andhap asor, ngajeni, dan rendah hati.

 

3. The strenght of mentallity

Dalam piramida kekuatan yang disajikan Ade Sudandyo, fondasi dari semua kekuatan itu adalah kekuatan mental. Bidangnya paling besar, paling bawah, menandakan bahwa kekuatan ini adalah fundamental. Jika tidak kuat, pasti ambruk. Mengapa ? Dalam dunia kerja, sometimes shit happened. Berbagai tekanan baik dari internal perusahaan maupun dari kompetitor tidak bisa dihindari. Sikut-sikutan antar sejawat, tekanan target, bahkan tuntutan eksternal bisa menguras tenaga dan pikiran.


Dunia kerja bukan wonderland yang serba cantik, manis, enak dan indah. Adu argumen, bersilang ego, bahkan kekerasan psikis biasa terjadi. Bukan hal aneh jika saling sikut, saling ingin menjatuhkan Yang menunggu kita terpeleset, lalu bertepuk tangan, bersuka cita, lebih banyak. Sementara di depan kita mereka tersenyum manis. Itulah sebabnya diperlukan mental yang kuat. Tetapi dari  hal-hal terburuk, kadang justru menjadi pelajaran terbaik.

 

Ramuan 3 kekuatan yang dirumuskan dalam Pyramid of Strength diatas jika diramu dengan baik akan menghasilkan kepemimpinan yang demokratis. Dalam proses komunikasi manajerial, implementasinya bisa dilakukan melalui diskusi dengan staf atau anak buah sebelum mengambil keputusan atau membuat kebijakan. Sedangkan dengan sejawat yang satu level, komunikasi koordinasi dilakukan termasuk pengambilan arah kebijakan berdasar peraturan baik aturan internal perusahaan maupun aturan umum.  Mengapa harus ada landasan aturan yang berlaku ? Karena dengan sejawat yang posisinya sama atau satu tingkat diperlukan upaya saling menjaga ego sehingga tidak terjadi benturan atau persinggungan. 


Beda lagi dengan komunikasi kepada atasan, sudah tidak lagi bicara a la diskusi dengan staf atau anak buah, atau bicara soal regulasi, tetapi lebih kepada hasil analisis yang mempengaruhi alasan sebuah kebijakan diambil atau perlu diputuskan. Meski nampak diperlukan banyak kompromi dalam praktik manajerial, tetapi ada saatnya diperlukan sikap tegas. Ini yang dilakukan mas Ade Sudandyo “Kerjakan yang saya perintahkan, yang tidak mau silakan keluar dari tim, selebihnya menjadi tanggung jawab saya.” Ini terjadi pada situasi yang benar-benar krusial saja. 


Karena kegigihannya inilah, Ade Sudandyo sebagai konsultan hospitality seringkali mendapat tugas melakukan pembenahan di perusahaan-perusahaan yang sedang “sakit” atau menjadi pengawal di perusahaan yang baru dibuka. Secara pribadi, dengan pendidikan hanya sampai D1, Mas Ade memang punya impian yang sangat besar, “I have to be a general manager. Which, i will not able to achieve it if i stay.”


Nah, dari pengalaman seorang Ade Sudandyo yang sekarang sudah bisa mencapai cita-cita menjadi seorang General Manager perusahaan konsultan hospitality, kita bisa melihat jenjang pendidikan bukanlah satu-satunya penentu sukses seseorang, bukan penanda kualitas diri seseorang. Kemauan belajar, komitmen dan kerja keras, serta pengalaman adalah kualitas diri yang tervalidasi dengan hasil kinerja. Jadi bukan lembar ijazah tanda tingginya jenjang pendidikan.

 

Credit. Ade Sudandyo


BUKU: JENDELA ILMU


Tanpa harus keliling dunia atau harus menempuh studi hingga berjenjang-jenjang, bahkan lintas keilmuan, kita bisa mengetahui banyak hal dan mendapatkan banyak ilmu dengan membaca buku sebanyak mungkin. Ada banyak pendapat mengenai manfaat membaca, salah satunya meningkatkan fokus dan daya ingat serta mengurangi stress hingga 67 persen.


Pada dasarnya, aktivitas membaca dapat menstimulasi otak untuk bekerja lebih baik dan lebih aktif, dan dengan sendirinya akan membuat orang terlatih berpikir kritis, analitis, dan kreatif. Sama seperti kita berlatih naik sepeda, untuk menjadi terampil bersepeda kita perlu berlatih, merasakan jatuh bangunnya, dan diulang-ulang hingga terampil. Naah, membaca juga satu bentuk latihan yang merangsang kerja otak supaya lebih aktif, sehingga kapasitas memori pun bertambah. Ingat saja bahwa dalam aktivitas membaca, kita sekaligus membangun theater of mind. 


Saat membaca, otak kita akan membangun gambaran tentang apa yang kita bacaDengan sendirinya direktori dalam otak kita tentang waktu, tempat, peristiwa, dan berbagai pengetahuan dan pengalaman akan terus bertambah. Penelitian yang dilakukan Haskins Laboratories for the Science of the Spoken and Written Word menunjukkan bahwa aktivitas membaca membuat kita mempunyai banyak kesempatan untuk memproses, berpikir, dan membayangkan narasi sehingga dengan terlatihnya otak pada aktivitas ini akan dapat meningkatkan daya ingat, bahkan kemampuan memori jangka panjang.


Keutamaan dari aktivitas membaca secara umum memang meningkatkan pengetahuan, wawasan, dan yang jelas menambah direktori kosakata. Tapi melatih untuk fokus dan konsentrasi, berlatih sabar dan konsisten, juga memberi ketenangan. Yaa.. kalau mau ditulis semua, manfaat membaca memang sangat banyak. Tapi yang terpenting sebenarnya output yang dihasilkan dari aktivitas membaca. Dalam banyak kajian, kebiasaan membaca berdampak positif pada kinerja seseorang. Being  focus,  consistent, and persistance akan membuat kita juga bekerja secara lebih baik dan dengan demikian prestasi tentu saja akan mengikuti.


Apakah hanya membaca bacaan ilmiah dan ilmiah populer yang bermanfaat bagi kualitas diri ? Nope. Membaca novel atau cerita-cerita fiksi juga memiliki banyak manfaat, selain sebagai pelepasan diri dari rutinitas, membaca fiksi juga meningkatkan empati melalui narasi dan karakter sosok dalam cerita yang seringkali dekat dengan kehidupan sehari-hari. 


Naah.. masih berpikir bahwa kualitas diri ditentukan oleh berderet gelar kesarjanaan, bertumpuk ijazah dan sertifikat ? 


“Ada dua motif untuk membaca buku. 

Pertama, kau menikmatinya. 

Dan selebihnya, kau bisa menyombongkannya”


~ Bertrand Russell ~

 


Surakarta, 10 Oktober 2021




Minggu, 26 September 2021

PENDIDIKAN MULTIKULTUR : KAPAN DIMULAI ?

Pertama:
Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea:
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga:
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.


                                                                       Credit : rri.co.id

    Tahun 1928 silam, tepatnya tanggal 28 Oktober, sekelompok anak muda bersumpah menyatukan tekat SATU NUSA, SATU BANGSA, SATU BAHASA : INDONESIA. Mendasar pada kesadaran atas realitas bahwa Negara Indonesia terdiri atas ribuan pulau, berbagai suku, budaya, dan bahasa, bahkan berbagai agama dan kepercayaan, sumpah menyatukan Nusantara ini terbukti mampu membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar dan mengundang kekaguman dunia. Di atas segala bentuk perbedaan yang ada, Indonesia diproklamirkan sebagai Negara Kesatuan dengan Pancasila sebagai pengikat yang menyatukan seluruh anak bangsa. Indonesia yang multikultur, yang terdiri atas ribuan pulau ini sekarang  berkembang menjadi Negara besar yang punya peran besar dalam kehidupan dunia saat ini.

       Kini, setelah hampir seabad berlalu, rasa-rasanya semangat Sumpah Pemuda ini telah semakin luntur. Rasa nasionalisme, kecintaan terhadap negeri, dan kebersamaan dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika tampak semakin hari semakin terlupakan. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika sepertinya sudah tak lagi dipahami maknanya dan tak lebih dari sekedar slogan semata. Kemana perginya semangat  persatuan yang begitu nyaring terdengar kala kita peringati Hari Sumpah Pemuda ?

    Tak bisa dipungkiri, dampak pemilu dan pemilihan presiden secara langsung telah menciptakan polarisasi kelompok masayarakat, yang memuncak di pemilihan presiden 2014, pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017, dan pemilihan presiden 2019. Luka-luka dampak dukungan politik itu masih terasa dan terpelihara hingga saat ini terutama yang terbungkus dalam isu-isu SARA, pemanfaat agama untuk kepentingan politik tertentu, sampai pada perang narasi di media sosial. Kita lihat saja di beberapa wilayah masih ada perilaku diskriminasi terhadap kelompok minoritas, pembubaran ibadah, pelarangan pendirian bahkan perusakan tempat ibadah, sampai soal seragam anak sekolah. 

    Kondisi ini tak ayal menghasilkan kondisi yang berpotensi memicu perpecahan bangsa. Kesadaran multikultur semakin tergerus dengan hadirnya ideologi-ideologi baru yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok tertentu.


Awali dari Dunia Pendidikan

    Sejak dulu bangsa ini majemuk dan kemajemukan ini telah menjadi landasan berkehidupan dan berkebangsaan yang membuat bangsa ini  menjadi bangsa yang besar, yang berdiri diatas segala perbedaan baik dalam hal suku, agama, dan ras. Maka realitas perbedaan dan kemajemukan ini mesti dinikmati dan disyukuri dengan membangun sebuah peradaban yang inklusif dan toleran dalam segala sendi kehidupan. Harapannya, bisa tercapai kehidupan yang damai, selaras, harmonis, dan berperadaban dengan mengedepankan sinergitas dalam menegakkan kebenaran dan kebaikan serta menjauhi segala bentuk pertikaian yang sifatnya destruktif dan membahayakan eksistensi  kemanusiaan manusia itu sendiri.

    Seringnya terjadi benturan dan pertikaian antar anak bangsa, memang sudah menjadi realitas menyedihkan yang kita hadapi saat ini. Yang sesungguhnya penting dan perlu dipikirkan secara serius, sistematis, dan komprehensif adalah upaya-upaya meminimalisir konflik dan membangun kesadaran terhadap keragaman dalam masyarakat. Tumbuhnya sikap dan kesadaran tentang realitas yang pluralis-multikultur ini  semakin dirasakan penting agar dapat melahirkan sikap yang toleran dan memandang mereka yang berbeda sebagai mitra yang harus dihormati dan dihargai.

    Pendidikan adalah salah satu media yang efektif melahirkan generasi yang memiliki  pandangan bahwa realitas multikultur ini merupakan bagian yang harus diapresiasi secara konstruktif. Pendidikan dapat diartikan sebagai proses sosialisasi  nilai, pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Internalisasi pemahaman dan kesadaran  terhadap realitas yang pluralis–multikultur melalui  jalur pendidikan dalam semua jenjang, tentu akan memiliki dampak yang konkret dalam kehidupan secara luas.

    Mengapa pendidikan multikultur ini penting ?  Ada beberapa alasan yang menjadikan pendidikan multikultur ini menjadi semakin dirasakan penting. Pertama, realitas bangsa Indonesia tingkat heterogenitasnya sangat tinggi, nampak didalam masyarakat terdapat perbedaan-perbedaan baik dalam agama, suku, ras, latar belakang budaya, dan sebagainya. Pemahaman terhadap realitas  yang  berbeda ini akan mempermudah dalam menjembatani perbedaan, mengurangi persepsi negative terhadap kelompok-kelompok yang berbeda. Setidaknya, seseorang akan lebih bisa menentukan sikap positif ketika harus berhadapan dengan orang yang berbeda dari dirinya sehingga mampu mengantisipasi kemungkinan terjadinya friksi. 

    Kedua, setiap relasi antar pribadi akan mengandung potensi interaksi multikultur. Dalam ranah kemajemukan masyarakat, setiap hubungan yang dibangun dapat terjadi pada individu-individu dengan  latar belakang yang berbeda. Maka diperlukan pemahaman masing-masing individu terhadap individu lain sehingga interaksi dapat menghasilkan sesuatu yang konstruktif sebagaimana hakikat manusia sebagai makhluk sosial.

    Ketiga, primordialisme bukanlah paham yang tepat untuk dikembangkan dalam kehidupan masyarakat multikultur. Maka setiap individu penting untuk membuka diri terhadap perbedaan sehingga tidak terjebak dalam fanatisme sempit dan sikap primordial yang membuatnya tidak mampu menghargai individu lain yang berbeda. 

    Keempat, dalam masyarakat yang heterogen potensi terjadi friksi sangat tinggi sehingga melalui pendidikan multikultur, diharapkan akan semakin banyak eksistensi masyarakat yang memiliki cakrawala pandang yang luas tentang realitas multikultur, sehingga lebih mampu mengedepankan toleransi, dan penghargaan terhadap segala bentuk perbedaan.


Desain Pendidikan Multikultur

    Sesungguhnya, pendidikan tak mesti harus selalu berorientasi pada tuntutan pemenuhan kebutuhan kerja, tetapi juga ditekankan pada pembelajaran mengenai nilai-nilai dimana peserta didik dapat melihat, memahami, dan menghadapi realitas kehidupan yang sesungguhnya. Sayangnya, kurikulum pendidikan saat ini tampaknya lebih mengarah kepada tuntutan pemenuhan kebutuhan kerja, sementara prosentase pendidikan akan nilai-nilai, norma-norma, dan patriotisme-nasionalisme  semakin kecil. Maka tak mengherankan jika generasi muda sekarang ini tak lagi banyak yang hafal lagu kebangsaan Indonesia Raya, tak lagi hafal Pancasila apalagi Butir-Butir Pancasila, bahkan enggan mengikuti upacara bendera. Lagu-lagu daerah semakin hilang popularitasnya, pun demikian pakaian daerah.  

    Pendidikan mulai jenjang terrendah sampai jenjang yang paling tinggi, dapat didesain untuk membangun dan memberikan gambaran ideal tentang pluralitas dan multikultural. Pendidikan multikultur bisa digambarkan sebagai upaya membuka visi kita kepada cakrawala yang lebih luas, hingga mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama atau kepercayaan. Pendidikan multikultur merupakan pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitas sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan agama atau kepercayaan. Dengan demikian, diharapkan setiap individu dapat menempatkan penghormatan dan penghargaan yang setinggi-tingginya terhadap  harkat dan martabat manusia apapun latar belakang kulturnya.

    Konstruksi pendidikan multikultural berorientasi pada proses penyadaran yang berwawasan pluralis baik secara agama maupun multikultur yang memandang bahwa keragaman dalam hidup merupakan suatu realitas yang harus dihadapi dan disikapi dengan penuh kearifan. Tentu diperlukan faktor-faktor pendukung seperti perilaku keseharian yang berbasis pada persamaan dan kesamaan dalam memandang setiap individu, serta kedewasaan intelektual dan emosional dalam menyikapi  perbedaan.

    Salah satu komponen dalam pendidikan adalah pembelajaran. Dimensi pluralis-multikultural bisa dibentuk melalui proses pembelajaran yaitu dengan menggunakan model pembelajaran yang lebih mengarah pada upaya menghargai perbedaan diantara sesama manusia sehingga terwujud ketenangan dan ketenteraman tatanan kehidupan bermasyarakat.

    Ada beberapa prinsip yang bisa dikembangkan dalam model pembelajaran pluralis-multikultural. Pertama, dimulai dari pengenalan jati diri pribadi masing-masing individu untuk mengukur sejauh mana diri pribadi melihat relevansi pluralis-multikultural ini berpengaruh terhadap kehidupan pribadi. Kedua, mengembangkan sikap non-etnosentris. Ini berarti dalam setiap pembelajaran ditujukan untuk membangun kesadaran untuk tidak mengunggulkan diri sendiri maupun kelompok, tetapi lebih mengedepankan adanya pemahaman yang mutualis dan empati terhadap keanekaragaman kultural.

   Ketiga, pendidikan pluralis-multikultural harus dikembangkan secara integratif, komprehensif, dan konseptual sehingga bisa terintegrasi dalam semua materi pelajaran, harus menyentuh aspek afektif dan kognitif dimana akan terbangun satu keterkaitan antara teori dengan realitas  keseharian yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, serta mencakup realitas sosial dan perjalanan sejarah berbagai kultur (=suku, agama, ras, kelompok) baik secara lokal, nasional, maupun global sehingga dapat menumbuhkan rasa hormat, toleran, dan menghargai keragaman yang ada. Tentu saja yang terpenting kesemuanya itu tak  hanya tercantum dalam kurikulum tetapi diterapkan dalam proses pembelajaran dan dinamika social di dalam kelas. 


Pendekatan Etika

    Etika mengandung makna nilai-nilai dan norma-norma perilaku yang menjadi pegangan bagi seseorang dalam bertingkah laku. Ada korelasi yang signifikan antara etika dengan pluralism dan multikulturalime. Pertama, hubungan antar sesama manusia berada dalam wilayah pengaturan etika, yakni bagaimana sikap perlakuan individu terhadap individu lain dalam  khasanah multikultur. Kedua, perspektif etika sangat penting dalam rangka menentukan kepastian moral secara rasional dan obyektif tentang segala sesuatu dalam hubungannya dengan individu lain.  Ketiga, rujukan etika seringkali dapat diterima bagi pihak-pihak yang berbeda pendapat mengenai sesuatu yang diyakini.

    Pendekatan etika dalam kurikulum pendidikan menjadi cukup relevan karena  di dalam etika itu sendiri mencakup sejumah prinsip. Pertama, prinsip egaliter yang memandang manusia dilahirkan memiliki derajat yang sama. Kedua, prinsip keadilan dimana setiap individu wajib memperlakukan individu  lain yang berbeda secara sama, adil, dan tidak diskriminatif dalam berbagai hal. Ketiga, prinsip toleransi dimana setiap individu wajib menghargai, menghormati, dan membiarkan pendirian atau pendapat, kepercayaan, pandangan, serta kebiasaan yang berbeda atau bertentangan. Keempat, prinsip saling menghormati, kerja sama dan pertemanan sebagai implikasi dari sikap toleran. Kelima,  prinsip damai yang mengandung makna penciptaan kehidupan yang selaras dengan sesama manusia melalui interaksi dan komunikasi yang setara.

    Mengingat ancaman disintegrasi yang semakin meluas saat ini, tidak ada salahnya jika saat ini kita mulai menggagas muatan pendidikan multikultur dalam kurikulum pendidikan di setiap tingkatan. Menumbuhkan kembali semangat nasionalisme, kecintaan terhadap negeri, lagu-lagu nasional dan daerah. Bukannya UU Pendidikan memberikan otonomi ke daerah untuk menyusun kurikulum lokal ? *

Jumat, 19 Februari 2021

WHEN BUZZER SHOUTED BUZZER

 "Everyone is a buzzer, even though a buzzer for their self"

(@RyaWiedy)

    Beberapa waktu terakhir secara bersamaan sejumlah pihak memprotes eksistensi "buzzer" di media sosial. Sebut saja budayawan Sudjiwo Tedjo, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, politisi PKS Mardani Ali Sera, komisioner KPK Novel Baswedan, Ketua YLBHI Asfinawati, bahkan Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers Arif Zulkifli.  

    Sebenarnya apa dan siapa yang disebut "buzzer" ? Apa bedanya dengan "influencer" ?

    Istilah buzzer sebenarnya mengadopsi satu alat elektronik semacam alarm atau bel listrik. Dalam  Oxford Dictionaries, buzzer didefinisikan sebagai "an electrical device that makes a buzzing noise and is used for signalling" atau satu alat elektronik  yang digunakan untuk membunyikan dengungan, menyebarkan signal, atau tanda tertentu. Fenomena buzzer muncul sebagai konsekuensi era masyarakat berjaringan (network society) dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.

    Centre for Innovation Policy and Government (CIPG) mendefinisikan buzzer sebagai individu atau lembaga yang memiliki kemampuan melakukan amplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian atau membangun percakapan. Umumnya, seorang buzzer mempunyai jaringan yang sangat luas sehingga mampu menciptakan konten sesuai konteks, mampu membangun narasi yang persuasif, dan bergerak atau bertindak atas motif tertentu. Ada dua motif utama yang menggerakkan seseorang atau sebuah akun menjadi buzzer : motif komersial dan motif ideologi.

    Buzzer yang memiliki motif komersial umumnya memang bergerak karena adanya aliran dana dari pihak yang memanfaatkan jasanya. Sedangkan buzzer dengan motif ideologi pada umumnya bergerak atas dasar dukungan atau kesukaan terhadap suatu produk barang atau jasa, ide atau gagasan, termasuk dukungan terhadap kelompok tertentu. Bisa kelompok politik maupun kelompok non politik.

    Pada awalnya buzzer ini sering digunakan dalam konteks marketing produk barang dan jasa, tugasnya mengamplifikasi atau menggaungkan iklan atau promosi melalui media sosial. Tetapi seiring dengan perkembangan konsep marketing yang menyasar pada marketing sosial, marketing ideologi, maupun marketing politik yang didukung oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, keberadaan buzzer kemudian banyak dimanfaatkan juga untuk kepentingan politik. Ini yang kemudian membedakan istilah buzzer dan influencer. Serupa tapi tak sama.

    Yang dimaksud dengan influencer dalam konteks komunikasi media sosial adalah orang yang memiliki pengaruh di media sosial, memiliki jaringan sosial di real life maupun di media sosial. Seorang influencer pada umumnya memiliki banyak followers sehingga informasi-informasinya lebih mudah tersebar dan dipercaya. Informasi-informasi yang disampaikan tidak selalu tentang politik atau membawa misi politik seseorang, sekelompok orang, atau penguasa (rezim). Bisa informasi yang mengajak masyarakat untuk melakukan perubahan ke arah kemajuan yang positis atau aksi yang bermanfaat. Seringkali seorang influencer memiliki skill  atau pengetahuan menonjol tentang satu bidang tertentu sehingga dapat meyakinkan publik, menguasai opini publik, dan sering menjadi rujukan atau sumber informasi bagi pengikutnya.

    Sedangkan yang disebut dengan buzzer adalah orang atau lembaga yang mempromosikan atau mendengungkan sesuatu informasi secara berulang-ulang, bisa informasi mengenai produk barang atau jasa, ide atau gagasan tertentu melalui unggahan di akun media sosialnya. Berbeda dengan  influencer yang pada umumnya merupakan tokoh publik, famous, memiliki kapasitas, kapabilitas, dan kredibilitas dalam bidang tertentu, seorang buzzer tidak terlalu mementingkan identitas dan segala atribut yang melekat pada seorang influencer. Bahkan seorang buzzer  tidak mementingkan apakah ia memahami informasi yang ia dengungkan atau tidak, bahkan apakah informasinya benar atau salah. Tugasnya hanya mengulang-ulang  atau mengamplifikasi sebuah informasi sehingga menguasai mind publik dan bisa menciptakan opini publik.


Konsekuensi Network Society

    Konsep masyarakat berjaringan (network society) muncul sebagai dampak sosial dari era globalisasi dan kemajuan teknologi komunikasi elektronik dalam masyarakat. Manuel Castell  dalam buku The Rise of The Network Society (2014) mendefinisikan masyarakat berjaringan (network society) sebagai  "masyarakat yang struktur sosialnya terdiri dari jaringan yang didukung oleh teknologi informasi dan komunikasi berbasis mikro-elektronik". Konsep masyarakat berjaringan ini sebenarnya merupakan konsep lama, hanya saja di dalam struktur masyarakat berjaringan saat ini proses untuk membangun dan mempertahankan hubungan antar individu dalam jaringan difasilitasi oleh teknologi informasi dan komunikasi yang terus mengalami perkembangan.

    Ada tiga hal yang menurut Castell menjadi penyebab munculnya struktur sosial baru di akhir abad 20 ini :

  1. Restrukturisasi ekonomi khususnya dibidang industri yang mendorong terbentuknya pasar terbuka secara global
  2. Maraknya gerakan sosial yang memperjuangkan kebebasan dan hak-hak sipil termasuk gerakan feminis (gender mainstream)
  3. Revolusi dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi
Ketiga hal ini menurut Castell memiliki andil besar dalam menciptakan paradigma baru dalam hal kerjasama  antar negara melalui pasar terbuka. Kemajuan  dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi mempermudah proses globalisasi termasuk berkembangnya nilai-nilai kebebasan berpendapat dan membawa implikasi pada munculnya struktur baru dalam masyarakat termasuk struktur jaringan komunikasi secara terbuka. Teknologi internet dan telepon seluler  adalah faktor kunci yang menjadi penghubung antar individu sehingga globalisasi berlangsung secara cepat.

    Struktur dalam jaringan komunikasi ini kemudian membentuk pembagian "kelas" antara siapa yang menjadi sumber informasi atau kelompok rujukan, siapa yang menjalankan instruksi berdasarkan informasi, dan siapa yang menjadi unrelevant group atau kelompok yang tidak berkontribusi signifikan dalam jaringan. Nah... dari sini kita akan terhubung dengan teori jaringan komunikasi yang dikembangkan oleh Paul Lazarsfeld, Robert K. Merton, Everett M. Roger, Linton C. Freeman, dan masih banyak lagi ilmuwan yang semuanya berbasis pada keilmuan Sosiologi dan mengambil fokus pada kajian tentang perubahan sosial.

    Secara prinsip, teori jaringan komunikasi menjelaskan bagaimana proses terbentuknya fenomena komunikasi yang berkaitan dengan relasi antar aktor dalam jaringan, menunjukkan posisi dan kekuatan masing-masing aktor dalam sebuah struktur jaringan, dan membandingkan peran aktor dalam sebuah struktur jaringan dan antar struktur jaringan. Dalam teori jaringan komunikasi, aktor yang menjadi pusat informasi dinamai star yang berperan sebagai opinion leader. Opinion leader ini adalah tokoh publik yang berperan mempengaruhi masyarakat dan menjadi rujukan bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi mengenai sesuatu hal yang pada gilirannya membawa masyarakat pada sebuah proses perubahan sosial.

    Yang bisa menentukan terjadinya perubahan sosial berdasarkan teori ini adalah "kekuasaan" , yakni kemampuan  untuk memaksakan keinginan seseorang atau sekelompok orang terhadap orang lain. dalam konteks masyarakat berjaringan, yang dimaksud kekuasaan adalah kontrol atau pengaruh atas proses komunikasi. Itu sebabnya konektivitas dan akses ke jaringan sangat penting bagi kelompok sosial tertentu agar bisa memaksakan nilai-nilai dan tujuan mereka kepada masyarakt luas. Bisa juga "pemaksaan"ini dilakukan dalam rangka  melawan dominasi kelompok lain.

    Naaah..... dalam konteks masyarakat berjaringan di ruang digital, posisi star atau  opinion leader inilah yang biasa kita kenal sebagai buzzer dan influencer. Mereka ini adalah orang-orang yang memunculkan satu narasi tertentu dan mengamplifikasi narasi tersebut sehingga melekat di mind publik lalu menghasilkan opini publik yang menguasau ruang digital di media sosial.


Setiap Orang adalah Buzzer

    Di era masyarakat berjarinan seperti sekarang, konektivitas antar individu maupun organisasi baik dalam konteks ekonomi, politik, maupun sosial-budaya nyaris tanpa sekat. Internet memungkin informasi yang ada di area publik masuk ke ruang-ruang privat melalui perantaraan alat komunikasi yang teknologinya terus berkembang menjadi media konvergens. Kondisi seperti ini tidak terjadi pada masyarakat tradisional dimana hubungan antar individu dipisahkan oleh ruang geografis dimana dalam setiap ruang geografis berlaku norma, adat istiadat, dan budaya yang harus ditaati. Setiap individu yang masuk ke dalam ruang geografis itu harus menyesuaikan diri dengan berbagai aturan yang berlaku.

    Dalam masyarakat global seperti sekarang, sekat-sekat geografis itu nyaris tak ada. Dari ruang privat kita bisa terkoneksi dengan milyaran individu dari berbagai penjuru dunia. Dengan sendirinya aturan-aturan yang berlaku di semua ruang geografis menjadi tidak berlaku di ruang digital, melebur dalam satu moral landscape baru yang mengatur perilaku dan interaksi antar individu dalam tatanan masyarakat berjaringan di ruang digital global. 

    Banyak persoalan baru dalam praktik komunikasi di era ini, lebih disebabkan karena gap yang sangat lebar  antara kecepatan perkembangan teknologi komunikasi dengan kemampuan orang memanfaatkan teknologi  komunikasi. Media sosial online mengunakan perangkat utama telepon seluler meskipun bisa menggunakan perangkat lain seperti laptop dan tablet. Dengan teknologi yang semakin canggih, perangkat komunikasi ini memberikan banyak fitur cerdas yang sebenarnya bertujuan memudahkan kinerja penggunanya. Sayangnya, kecerdasan teknologi tidak selalu dibarengi oleh kecerdasan penggunanya. Bagi praktisi strategi komunikasi, kondisi ini membawa keuntungan dan menjadi sebuah peluang. Sebuah informasi tidak hanya disebarkan, tetapi juga dimodifikasi sedemikian rupa sesuai tujuan pemberi informasi. Dan dari sini kita bisa melihat dengan jelas bagaimana buzzer  dan  influencer  bekerja. 

    Dalam perspektif komunikasi, kita kan melihat proses komunikasi di ruang digital ini dalam dua bentuk : komunikasi satu arah (one way communication) dan komunikasi banyak arah (multy-directional communication). Jika komunikasi berlangsung satu arah, maka konten pesan  hanya akan diterima mentah-mentah oleh penerima pesan. Ini sama dengan teori klasik hypodermic needle, pesan diinjeksikan ke penerima pesan dengan asumsi penerima pesan bersifat pasif tanpa bersikap kritis. Di dalam sebuah jaringan komunikasi, karakter komunikasi yang seperti ini menunjukkan anggota jaringan yang lemah, dan bahkan dapat dilemahkan oleh pemberi pesan. Di ranah ini  buzzer bekerja. Tidak penting apapun isi kontennya yang penting diamplifikasi, digaungkan berulang-ulang sehingga tertanam dengan baik di benak publik.

    Jika komunikasi dilihat sebagai proses edukasi yang melibatkan diskusi antar anggota dalam jaringan, maka peluang untuk mengembangkan ide-ide baru yang lebih inovatif bisa diharapkan terjadi. Setiap anggota jaringan saling memberi kontribusi pemikiran dan berbagi pengetahuan yang memberdayakan sehingga individu dan komunitas dalam jaringan semakin meningkat kualitas pengetahuannya. Di ranah ini seorang influencer terlibat aktif dalam diskusi karena memiliki pengetahuan yang cukup mengenai konten pesan yang didiskusikan. Orang yang berposisi sebagai influencer  ini bisa sekaligus sebagai buzzer yang bertujuan menanamkan sebuah pengetahuan atau nilai-nilai di benak publik.

    Model jaringan komunikasi yang seperti ini bisa menjadi modal sosial yang baik untuk mendorong sikap atau dukungan publik terhadap sebuah kebijakan, inovasi baru, atau gagasan-gagasan yang ingin dikembangkan  termasuk dukungan terhadap sebuah produk barang atau jasa tertentu. Itu sebabnya setiap kelompok atau organisasi selalu memiliki buzzer atau influencer, baik yang dibayar maupun yang tidak dibayar. 

Pun setiap orang sejatinya adalah buzzer untuk dirinya sendiri, karena dengan mengkomunikasikan ideologi, nilai-nilai yang dianut, atau pengetahuan tertentu melalui akun media sosial miliknya, sesungguhnya ia sedang berusaha melakukan positioning sehingga akunnya teridentifikasi dalam sebuah jaringan. Seseorang dapat membawa nilai-nilai pribadi yang ditawarkan kepada publik termasuk menyebarkan informasi dan inovasi baru yang bermanfaat untuk publik. Sebagaimana dalam ilmu publik relation berlaku teori bahwa setiap orang adalah PR bagi dirinya sendiri, demikian juga buzzer dan influencer.  Konten pesan yang dibawa menjadi identitas bagi dirinya sekaligus mewarnai identitas kelompok dalam jaringan dimana ia terlibat sebagai anggota. 

    Naah, stigma buruk yang sekarang melekat pada aktor bernama buzzer ini sesungguhnya terkait dengan konten pesan yang diusung. Peran buzzer sebagai penggaung informasi yang efektif di media sosial dan semula digunakan untuk tujuan marketing kini bergeser sebagai pelaku propaganda  terutama sejak digunakan dalam kampanye dukungan politik. Stigma semakin buruk ketika konten pesan yang didengungkan berisi dukungan membabi-buta terhadap pihak tertentu, berisi hasutan bahkan hoaks sehingga merusak nalar publik, dan paling parah digunakan untuk menyerang kelompok yang berseberangan.

    Meski demikian kita tidak bisa mengingkari fakta bahwa  semua pihak memiliki buzzer dan influencer. Tidak semua buzzer buruk. Yang menentukan pakah buzzer itu baik atau buruk adalah konten pesan yang digaungkan. Maka tidak tepat jika kita memberi label pada orang lain sebagai buzzer karena mendukung nilai-nilai atau kelompok yang bersebarangan dengan kita, sementara kita sendiri mendengungkan nilai-nilai atau kelompok yang berseberangan dengan orang lain. 

    It's funny when buzzer shouted buzzer. 



References :

https://www.soas.ac.uk/cedep-demos/000_P523_MKD_K3637-Demo/unit1/page_10.htm
https://tirto.id/apa-itu-buzzer-politik-arti-strategi-sejarah-dan-pola-rekrutmen-gaaE
https://content.sciendo.com/downloadpdf/journals/linpo/59/1/article-p65.pdf



Selasa, 09 Februari 2021

WHEN BAD NEWS IS GOOD NEWS


"When a dog bites a man, that's not news. 
But, when a man bites a dog, that's news"
(Charles Anderson Dana)


     Ungkapan  "Bad News is Good News" dan "When a dog bites a man, that's not news. But, when a man bites a dog, that's news" adalah prinsip pertama yang diajarkan di kelas-kelas jurnalistik, menjadi pegangan bagi jurnalis-jurnalis pemula, bahkan masih populer hingga saat ini termasuk menjadi "senjata pembenar" bagi karya jurnalistik yang alih-alih mengkritisi situasi sosial, tapi sebenarnya hanya mencari sisi negatif dari setiap peristiwa.
    Sebuah kalimat yang berkonotasi negatif dan  sensasional memang selalu menarik untuk dibaca. Prinsip jurnalistik ini pertama kali konon dikenalkan oleh Charles Anderson Dana, seorang jurnalis senior di New York sekitar tahun 1800-an. Tapi beberapa sumber literatur menyebut ada beberapa jurnalis senior ternama di The New York Sun yang juga menggunakan kata-kata serupa untuk mendefinisikan "What is News?" Tetapi dalam dunia jurnalistik,  Charles A. Dana inilah yang kemudian dianggap sebagai orang pertama yang mendefinisikan news dengan kalimat itu sekaligus sebagai orang pertama yang memperkenalkan konsep jurnalistik modern. 

Siapakah Charles Anderson Dana ini ?

    Charles Anderson Dana lahir di Hinsdale, sebuah kota kecil di tepi barat Chicago pada tahun 1819. Ayahnya seorang pedagang kecil. Ketika bisnis tidak berjalan baik, keluarga Dana pindah ke New York. Sebuah wabah membuat Dana kehilangan ibunya, dan sebagai anak tertua di keluarganya Dana harus ikut mencari nafkah dengan bekerja sebagai penjaga toko milik pamannya, David Denison, di Vermont ~ bagian timur Amerika Serikat. Saat itu usianya baru 9 tahun.

    Charles A. Dana adalah sosok pemuda yang cerdas dan rajin. Hidup dalam kemiskinan tidak menghentikan semangat untuk belajar. Ia termasuk pelajar berprestasi, yang terpaksa berhenti sekolah karena kekurangan dana. Berbekal uang tabungan hasil bekerja sebagai penjaga toko dan ketertarikannya terhadap sastra klasik dan bahasa  mengantarkannya  untuk belajar di Harvard College. Ia juga belajar bahasa Latin dan Yunani secara otodidak. Sayangnya, masalah keuangan dan penglihatan membuat ia harus berhenti dari Harvard College dan melanjutkan studi ke Jerman yang berbiaya lebih murah dan meghidupi diri dengan mengajar bahasa Inggris. Lagi-lagi Charles A. Dana harus gagal menyelesaikan studi karena kesehatan mata yang makin parah. Akhirnya ia bergabung dengan komunitas transendentialis yang mendirikan Brook Farm, bergerak dibidang pertanian. Disini Charles A. Dana kemudian bertemu dengan Eunice Macdaniel dan menikah pada tahun 1841. 

    Di Brook Farm, Charles A. Dana memulai karir menulis dengan menjadi penulis dan editor untuk buletin komunitas The Harbinger yang beredar di luar komunitas dan mendukung prinsip-prinsip reformasi sosial. Dari sini Charles mengembangkan korespondensi dengan editor New York Tribune, Horace Greeley yang juga pendukung transendentialisme dan prinsip-prinsip sosialis Brook Farm. Maka ketika Brook Farm bubar, Charles pun direkrut menjadi staf Tribune. Ini terjadi  bersamaan dengan terjadinya revoluasi disejumlah negara termasuk Jerman dan Perancis. Debut Charles Dana di Tribune dimulai ketika menulis hasil wawancara dengan pemimpin-pemimpin pergerakan termasuk Karl Marx.

    Perbedaan sikap politik antara Charles dengan Greeley terkait pertikaian sipil di negara bagian selatan Amerika Serikat membuat Charles diberhentikan dari Tribune dan sejak itu Charles mulai terlibat dalam politik bahkan menjadi kepercayaan Abraham Lincoln untuk melakukan investigasi dalam tubuh militer Amerika Serikat. Usai perang Charles A.Dana kembali ke dunia jurnalistik dan menjadi editor senior di koran The New York Sun. Koran ini dikenal memberikan dukungan terhadap pemilihan Jenderal Ulysses S. Grant sebagai presiden Amerika Serikat ke-18, tetapi kemudian secara perlahan mengalihkan dukungan ke Partai Demokrat setelah Grant banyak melakukan penyimpangan saat menjabat.

Tentang Nilai Sebuah Berita

    Sebenarnya tidak diketahui secara pasti, siapa orang pertama yang mencetuskan adagiom "Bad News is Good News". Tetapi beberapa sumber literatur menyebut asal frasa itu bersumber dari Raja Inggris James I yang menyebut  "No news is better than evil news" (1616). Kata-kata ini yang kemudian diterjemahkan bahwa berita yang baik adalah mengenai sesuatu yang buruk. 

    Sama dengan adagiom "When a dog bites a man, that is not news. But when a man bites a dog that is news" yang juga tidak diketahui siapa pertama kali pencetusnya, tetapi beberapa sumber literatur menyebut kalimat yang digunakan untuk mendefinisikan "What is News?" ini memang familiar di kalangan jurnalis The New York Sun sekitar tahun 1800an. Sebut saja John B. Bogart, Amos Cumming, dan Charles A. Dana. Ada pula sumber yang menyebut Alfred Harmsworth, yang kemudian dikenal sebagai Lord Northcliffe, juga dianggap sebagai orang pertama yang menggunakan adagium itu untuk membuat definisi apa itu News.

    Dalam sebuah buku berjudul "The Stolen Story and Other Newspaper Stories" yang ditulis oleh Jesse Lynch Williams pada tahun 1899, pepatah tersebut diucapkan oleh karakter fiksi bernama "Billy Woods" dalam sebuah bab berjudul "The Old Reporter" . Woods bukan jurnalis yang berpendidikan tinggi, ia hanya berbekal pengalaman. Tulisan-tulisannya berbobot dan jika ditanya oleh jurnalis-jurnalis muda bagaimana mendapat berta bernilai tinggi, dengan cara yang sederhana dan mudah dipahami,  ia menggambarkan "Seekor anjing menggigit seorang pria' — itu sebuah cerita; 'Seorang pria menggigit anjing' — itu cerita yang bagus.  Buku ini mengantar Jesse Lynch Williams mendapat penghargaan Pulitzer, tetapi banyak yang beranggapan bahwa Jesse bukanlah orang yang pertama menggunakan pepatah itu, hanya mendengar sering diucapkan orang lalu menggunakan pepatah itu dalam bukunya.

    Versi lain menyebut, pepatah ini muncul dari statemen Charles A. Dana yang ditulis oleh sebuah koran di The Buffalo Commercial New York pada tahun 1902. Sebagaimana dirilis ulang dalam sebuah tulisan di Omaha Nebraska, ketika ditanya oleh Richard Harding Davis apa yang disebut berita, Charles A. Dana menjawab, "If you should see a dog biting a man, don't write it up. But if you should see a man biting a dog, spare not money, men, nor telegraph tolls to get the details to the Sun office." Tulisan inipun mendapat banyak tanggapan yang mengklaim pepatah itu berasal dari pernyataan Doc Wood. Menariknya, pernyataan aslinya tidak semenarik pepatah yang sudah beredar, dan nama yang disebutkan menyerupai nama karakter fiksi  dalam novel  The Old Reporter "Woods". Begini tertulis di Chicago Chronicel  : "Jika Anda melihat seekor anjing berlarian di Broadway dengan kaleng yang diikat di ekornya, itu tidak ada artinya. Tetapi jika Anda melihat seekor anjing dengan kaleng diikat ke ekornya — berjalan di Broadway, itu sangat berharga"

    Pepatah ini memang pada akhirnya digunakan banyak penulis dan peneliti ketika menulis tentang definisi jurnalistik,  tetapi kemudian definisi yang diungkapkan Charles A. Dana-lah yang paling sering digunakan untuk mendefinisikan apa itu berita. Pada 1917, dalam sebuah terbitan berkala "The Bookman" nama Charles A. Dana digunakan dalam kutipan definisi berita, dan kutipan itu digunakan di Oxford Dictionary of Quotations dan  Yale Book of Quotation. Prinsipnya, suatu peristiwa akan memiliki nilai berita apabila peristiwa itu tidak biasa dan diluar dugaan atau diluar ekspektasi. Definisi ini berkembang dengan munculnya statemen Arthur Brisbane (1912) dengan menambahkan bahwa berita itu tidak hanya melaporkan kejadian, tetapi juga bisa menciptakan kejadian, "If a dog bites a man it isn't news. But, if a man bites a dog, it is. Whenever you can't find a man biting a dog, go and bite one yourself."


Memaknai Definisi Berita A La Dana

    Dalam sebuah diskusi membahas soal ujian mid semester tentang kondisi pers di Indonesia, saya menyampaikan bahwa saya prihatin dengan dunia jurnalistik di Indonesia saat ini. Selain maraknya click bait di media-media online yang seringkali menyesatkan pembaca karena judul berita yang terlalu bombastis untuk informasi yang biasa-biasa saja, juga karena banyaknya berita prematur yang sengaja diedarkan dan menimbulkan kegaduhan, termasuk berita-berita sepihak yang tidak cover both side sehingga menyalahi prinsip-prinsip jurnalistik bahkan etika jurnalistik, dan juga keterlibatan media dalam keberpihakan kelompok politik tertentu yang membuat independensi media dipertanyakan dan obyektivitas berita diragukan. 

    Seorang mahasiswa mengungkapkan pendapatnya," Bukankah kinerja media memang seperti itu, bu ? Bad news is good news." 

    Saya memulai dari pernyataan riset Jeremy Iggers, bahwa ketidakpuasan publik terhadap pemberitaan media sering kali disebabkan oleh tidak terpenuhinya standar etika profesi jurnalis. Tetapi bagaimana jika kesalahan justru berawal dari standar etika itu sendiri ? Sekali waktu kita perlu mencermati UU  No 40 tahun 1999 tentang Pers dan UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran serta Kode Etik Profesi Jurnalistik. Kalau diperhatikan, aturan-aturan mengenai pers lebih banyak menghindari isu-isu penting yang berkaitan dengan kepentingan publik, tanggung jawab sosial pers terhadap publik, bahkan menghindari sanksi yang harus diterima pers jika melanggar  UU atau Kode Etik Profesi. Kepemilikan media dan organisasi media yang membuat kepentingan ekonomi menjadi lebih besar dibanding kepentingan ideal pers, tanpa disadari terus menggerus profesionalisme pers.

    Lalu kita akan berbicara mengenai masyarakat demokratis. Banyak insan pers yang selalu memaksakan pemahaman bahwa indikator sebuah negara dianggap demokratis itu ditandai dengan kemerdekaan berpendapat dan kebebasan pers. Tetapi sesungguhnya memaksakan kebebasan berpendapat dan kebebasan pers tanpa memperhatikan hak masyarakat untuk  mendapatkan informasi yang benar dan berimbang, tanpa memperhatikan kewajiban mencerdaskan kehidupan masyarakat justru membuat pers menjadi liberal bahkan pers yang otoriter, bebas tapi tidak mau dikontrol. Apakah kondisi membaik dengan "mendewakan" kebebasan pers ? Faktanya banyak institusi media yang gulung tikar, ditambah lagi dengan era media online dan masyarakat berjaringan yang membuat citizen & netizen journalistic merajai kehidupan sehari-hari masyarakat dan semakin meninggalkan media massa. 

    Seperti yang disampaikan Iggers, ketidakpuasan masyarakat sehingga meninggalkan media lebih disebabkan karena tidak dipatuhinya standar etika jurnalistik. Ketika masyarakat makin cerdas, tingkat literasi makin tinggi, pers juga harus mengimbangi dengan meningkatkan kualitas produk jurnalistik. masyarakat dan pers atau media itu seharusnya saling mendukung, saling menunjang. Maka membuat kode etik jurnalistik harusnya dimulai dengan mempertimbangkan peran media untuk menciptakan masyarakat yang demokratis dan sekaligus menyediakan cara bagaimana agar media berkontribusi pada penyelesaian masalah-masalah sosial. 

    Memang harus diakui, munculnya pepatah bad news is good news tidak lepas dari karakter manusia yang lebih meng-endorse informasi-informasi yang menakutkan ketimbang informasi yang menyenangkan. Sesungguhnya banyak indikator yang bisa digunakan untuk mengukur nilai sebuah berita, dimana sebuah berita dianggap memiliki nilai (news value) tinggi apabila menyangkut hal-hal berikut : 
  1. Magnitude (seberapa banyak sebuah berita atau informasi mempengaruhi masyarakat),
  2. Importance/significance ( seberapa penting sebuah peristiwa atau informasi bagi masyarakat),
  3. Proximity (kedekatan sebuah peristiwa baik secara geografis, ideologis, maupun secara psikologis dengan masyarakat), 
  4. Actuality/immediacy/newnews (baik aktual waktu maupun aktual persoalan), 
  5. Impact (seberapa besar sebuah peristiwa membawa dampak bagi masyarakat), 
  6. Unusualness (hal luar biasa, kejadian diluar dugaan atau sesuatu yang aneh/unik), 
  7. Prominance (menyangkut public figure), 
  8. Human interest ( peristiwa atau informasi yang menyentuh rasa kemanusiaan dan menimbulkan simpati) 
  9. Conflict (pertikaian)
  10. Sex, 
  11. Crime (kriminal)
  12. Humor  
  13. Trend (sesuatu yang viral)
    Nah, dengan sebegitu banyak indikator yang bisa menentukan nilai sebuah berita, haruskan kita mencari sisi bad news agar bisa mendapat sebuah good news ? Contoh, berita mengenai wabah. Tentang wabah itu sendiri sudah menjadikan berita bernilai tinggi karena menyangkut nasib banyak orang, aktual, penting, menumbuhkan awareness masyarakat. Cukuplah memberi informasi yang bisa membuat masyarakat tidak panik tetapi sekaligus waspada menghadapi wabah. Bukan malah memberikan informasi-informasi hyperreality yang menciptakan kegaduhan, suasana ketidakpastian, dan rasa pesimis dalam masyarakat.
       
    Mencari sisi buruk suatu kejadian harusnya ditujukan untuk upaya memperbaiki situasi sosial. Misalnya berita mengenai banjir dan perilaku masyarakat yang masih membuang sampah di saluran air. Memang bad news, tetapi ditujukan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat agar menjaga saluran air tidak dipenuhi sampah. Jadi, memaknai bad news is good news bukan dalam rangka menjustifikasi satu pihak, sekelompok orang, atau suatu kejadian.  Mengkritisi tanpa menjustifikasi. Dan memang pada dasarnya sebuah berita itu harus netral, berimbang, tidak memihak, tidak bercampur opini. Framing boleh, tetapi kaidah dan etika jurnalistik tetap harus diperhatikan.

    Demikian juga memaknai when a dog bites a man that's not news, but when a man bites a dog that is news sebenarnya lebih merujuk pada sebuah peristiwa atau kejadian yang luar biasa, menyentuh sisi-sisi yang tidak biasa dari sebuah pemberitaan, thinking out of the box, dan tetap harus ditujukan pada itikad baik untuk mencerdaskan masyarakat, memberikan informasi yang benar dan obyektif, serta memberikan kritik yang konstruktif agar terjadi perbaikan situasi sosial. 


Surakarta, 9 Pebruari 2021

 
    

Reference

https://www.researchgate.net/publication/324691223_Good_News_Bad_News_Journalism_Ethics_and_the_Public_Interest
http://brattleborowords.org/project/charles-anderson-dana-the-charles-dana-bridge-hinsdale-nh/
https://quoteinvestigator.com/2013/11/22/dog-bites/






Senin, 18 Januari 2021

MENGAPA BELAJAR ILMU KOMUNIKASI ITU PENTING ?

 "We cannot not communicate"

(Paul Watzlawick)


    Tidak ada yang memungkiri bahwa manusia hidup akan selalu terlibat dalam perilaku komunikasi. Bahkan setiap perilaku manusia, entah disadari atau tidak, berpotensi mengirim pesan komunikasi kepada orang lain. Begitu melekat aktivitas komunikasi ini pada kehidupan manusia sehingga bisa dikatakan berkomunikasi itu seperti kita bernafas, sesuatu yang dibutuhkan dan tidak terhindarkan. Tetapi sebagaimana kita bernafas, komunikasi sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupan kita ini justru sering dianggap tak penting untuk dipelajari. Mengapa ? Karena kemampuan berkomunikasi ini bertumbuh sejalan dengan pertumbuhan manusia. Tapi benarkah tak penting belajar terampil berkomunikasi ? Faktanya, banyak persoalan dalam kehidupan manusia yang bermula dari kegagalan komunikasi. 

    Di awal abad 20 sekitar terjadinya Perang Dunia II, fenomena komunikasi muncul menjadi bahasan yang menarik untuk dipelajari terkait dengan kekuatan media massa, opini publik, praktik-praktik propaganda, dan juga komunikasi persuasi. Harrold Lasswell dengan teori Hypodermic Needle, menggambarkan kekuatan propaganda media massa dalam mempengaruhi publik. Teori ini menggambarkan ketidakberdayaan publik menghadapi pesan media sehingga menghasilkan perubahan atau menggerakkan perilaku tertentu. 

    Kekuatan komunikasi media massa ini juga menemukan moment besar dalam terjadinya kepanikan massal yang disebabkan oleh penyiaran drama radio War of The World di Columbian Broadcasting System (CBS) pada tahun 1938, dimana pendengar radio menyangka bahwa laporan yang disiarkan radio itu mengenai invasi makhluk dari Mars ke bumi adalah kejadian nyata. Dan memang drama radio itu dibuat dalam bentuk seolah-olah siaran langsung menegani adanya makhluk luar angkasa yang turun ke bumi, dibumbui wawancara dengan pejabat setempat, termasuk dari FBI dan NASA sehingga seolah-olah nyata.

    Kepanikan ini menimbulkan asumsi mengenai kekuatan media dalam mempengaruhi atau mengerakkan publik. Dan sejak itu studi mengenai komunikasi menghasilkan banyak teori yang menunjukkan bagaimana kekuatan media mempengaruhi publik. Tidak hanya bagaimana kekuatan komunikasi dalam praktik-praktik retorika dan propaganda, tetapi juga berbagai tindakan manipulasi fakta yang  melibatkan tidak hanya komunikasi antar individu, antar kelompok, peran opinion leader tetapi juga peran media massa. 

    Nah, di era-era baru perkembangan keilmuan komunikasi ini sudah menggabungkan berbagai keilmuan sosial (interdispliner) seperti psikologi, sosiologi, politik, dan filsafat tentunya. Diawal-awal pemodelan perilaku komunikasi bahkan menggunakan model-model matematis maupun fisika, juga keilmuan biologi untuk meggambarkan perilaku komunikasi misalnya berkaitan dengan komunikasi antar individu yang digambarkan dengan layer kulit bawang untuk menjelaskan tingkatan kedekatan hubungan antar individu dalam boundaries. Bahkan ilmu kedokteran saraf (neuroscience) juga memberi penjelasan mengenai perilaku manusia berkaitan dengan aktivitas komunikasi. 

    Artinya apa ? Di era masyarakat berjaringan saat ini, integrasi berbagai keilmuan memang bukan lagi sesuatu yang aneh, bahkan sangat diperlukan untuk menjawab persoalan-persoalan sosial. Dan ilmu komunikasi menjadi ilmu yang sangat luwes untuk bisa bersinergi dengan keilmuan lain sehingga menghasilkan satu keilmuan baru atau masuk  menjadi bagian dari kurikulum keilmuan non komunikasi. Why not ? :)


ILMU KOMUNIKASI & KEUNGGULAN PRAGMATIS

    Unik memang jika kita perhatikan, dalam setiap peristiwa sosial saat ini selalu berkaitan dengan dunia komunikasi, dengan perilaku komunikasi. Kita masih ingat carut marut komunikasi publik pemerintah RI diawal pandemi Covid19 awal tahun 2020, bagaimana informasi lalu lalang dari ruang publik hingga ke ruang privat, hoaks dan analisa-analisa sok tahu yang bermunculan hingga menghasilkan kepanikan. Kita lihat, kepanikan dihasilkan dari kurangnya informasi, kepanikan lebih bernuansa psikologis yang dalam tahap selanjutnya bisa menimbulkan stres dan depresi dimana kondisi depresi dalam taraf tertentu memerlukan penanganan tenaga medis, yang dalam memberikan penanganan mungkin tidak hanya dengan obat tetapi juga terapi healing. Komunikasi lagi kan ?? ;)  

    Atau dalam banyak peristiwa politik, ilmuwan politik dan politisi pada umumnya lebih tertarik pada data dan angka kuantitatif. Tingkat kemiskinan, angka pengangguran, jumlah pemilih, dan angka-angka indikator lain yang kelak akan bermanfaat atau tepatnya dimanfaatkan sebagai dasar menyusun kebijakan. Hampir tak ada ilmuwan politik yang melirik bahwa kemenangan sebuah parpol bisa ditentukan oleh perilaku pemilihnya. Orang lebih suka hanya menyebut dikotomi pemilih rasional dan pemilih emosional, plus floating mass kalau ada. Tetapi tentang karakter pemilih yang didasarkan pada perilaku baru disadari akhir-akhir ini saja.  Dan memenangkan agenda publik tentu diperlukan narasi-narasi yang sesuai karakter publik. Inilah perlunya politisi memiliki keterampilan komunikasi publik, melakukan analisis audiens, bahkan tidak sedikit yang menggunakan jasa ahli strategi komunikasi untuk mendukung upaya memenangkan narasi melalui berbagai kanal komunikasi.

    Komunikasi bisa dipandang sebagai sebuah ilmu pengetahuan, satu keahlian, bahkan dianggap sebagai seni. Ini menunjukkan betapa lentur ilmu komunikasi ini diantara ilmu-ilmu yang lain, sehingga bisa berintegrasi dengan berbagai ilmu sekaligus menjadi tools untuk menghubungkan dunia sosial dengan segala aspeknya. Komunikasi bukan lagi dipandang sebagai sebuah proses penyampaian pesan, tidak lagi sebatas menginterpretasikan lambang-lambang, dan bukan lagi sekedar memberikan cara mendeskripsikan dunia tetapi lebih kepada bagaimana mengkonstruksi dunia. Komunikasi bukan lagi soal menceritakan sebuah peristiwa, tetapi membuat sebuah peristiwa menjadi bermakna dimana pemaknaan ini bisa disesuaikan dengan kebutuhan atau kepentingan baik secara proses, konten, maupun hasil.

    Lasswell mendefinisikan komunikasi sebagai who says what to whom by what channel with what effect. Ia berbicara mengenai komponen atau unsur-unsur komunikasi yang terdiri dari komunikator penyampai pesan, pesan itu sendiri, media yang digunakan, komunikan atau penerima pesan, dan efek yang dihasilkan. Berbicara mengenai komunikator, akan berkaitan dengan siapa yang berbicara. Ini menyangkut kredibilitas penyampai pesan. Bisa karena kapasitasnya, kapabilitasnya, atau ketokohannya. Berbicara mengenai pesan selalu akan berkaitan dengan efektivitas pesan dan ragam pesan yang diminati penerima pesan, dan tentu saja disesuaikan dengan kebutuhan dan karakter penerima pesan atau komunikan. Lalu kita akan berbicara mengenai media yang tepat atau yang sesuai digunakan untuk pesan tertentu dan kelompok penerima pesan tertentu. Sehingga di  akhir sebuah rangkaian aktivitas atau proses komunikasi, kita dapat berharap akan terjadi efek pesan sesuai yang diharapkan si pengirim pesan.

    Di era revolusi komunikasi seperti sekarang, dimana kita sudah masuk dalam masyarakat berjaringan yang difasilitasi kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang terus berkembang sangat pesat, hampir semua definisi dalam teori-teori komunikasi yang sudah ada selama ini benar-benar telah terdisrupsi. Setiap orang adalah komunikator yang memiliki medianya sendiri-sendiri. Setiap orang adalah komunikan bagi orang lain. Relasi komunikasi publik bukan lagi hanya antara komunikator lembaga/organisasi/instansi dengan publik, bukan lagi soal media massa dan pengakses atau konsumen media massa, tetapi antar semua elemen dalam struktur sosial. Sebuah isu atau pesan publik bisa memasuki ruang-ruang privat tanpa sekat. Demikian juga sebaliknya, pesan privat juga dengan mudah diakses publik ketika dikomunikasikan melalui berbagai platform media sosial. 

    Dalam konteks keilmuan komunikasi, ini adalah tantangan besar. Sifat ilmu komunikasi yang sangat cair karena bisa menembus banyak ruang, membuka lebar peluang sinergitas lintas keilmuan. Tadi sudah disebutkan, komunikasi sudah bukan lagi dimaknai sebagai penyampaian dan pemaknaan pesan, tetapi bagaimana kita mengkonstruksi dunia. Maka keilmuan komunikasi berpeluang mengarah pada solusi atas masalah-masalah sosial, dan tentu saja melalui sinergi dengan keilmuan lain. Memang wacana sinergitas keilmuan ini bukan perkara mudah, karena tentu saja dipengaruhi egosentris masing-masing ilmu (ilmuwan). Tetapi tuntutan hadirnya solusi atas berbagai persoalan masyarakat yang memerlukan sinergi semua elemen dalam struktur masyarakat, harus menjadi kesadaran bersama sehingga unifikasi berbagai keilmuan menjadi satu ilmu baru bisa dimungkinkan.

    Nah, dimana peluang ilmu komunikasi ? Mengapa belajar komunikasi itu penting ? Saya tidak akan memberi jawaban, tetapi mengajak pembaca untuk melihat beberapa ilmu yang mengandung muatan ilmu komunikasi dan juga keilmuan lain berikut ini : Komunikasi Pemasaran (Marketing Communication), Desain Grafis (Graphic Design), Analisis Khalayak (Audience Analysis), Komunikasi Publik (Public Communication), Komunikasi Perubahan Sosial (Communication for Social Change), Komunikasi Terapeutik (Therapeutic Communication), Komunikasi Krisis (Crisis Communication), Komunikasi Antarpribadi (Interpersonal Communication)

    Setelah itu, mari berselancar melihat berbagai persoalan-persoalan di masyarakat. Mana persoalan yang tidak melibatkan komunikasi ? Mau membangun waduk, perlu komunikasi dengan masyarakat sekitar. Panik akibat tersebarnya berbagai informasi hoaks, perlu share klarifikasi informasi yang benar. Menghadapi demo kelompok masyarakat, perlu dialog. Nah....... :) 

    

    


Senin, 26 Oktober 2020

BAGAIMANA MASA DEPAN ILMU-ILMU SOSIAL DI ERA DIGITAL ?


KEGELISAHAN ITU

    Di awal terjadi pandemi Covid-19 di Indonesia sekitar Maret 2020, kita dihadapkan pada banyak situasi yang lebih mencerminkan kepanikan masyarakat : ketakutan berlebihan, borong memborong persediaan pangan menghadapi lockdown, kelangkaan masker dan hand sanitizer, sampai pada beredarnya aneka ragam hoaks mengenai virus, dampak virus, cara penularan, cara pengobatan, bahkan beredar potongan-potongan film Contagious yang dinarasikan sebagai video kejadian yang menunjukkan keganasan Coronavirus.
    Kepanikan, maraknya hoaks, kesimpangsiuran informasi mengenai virus dan penanganan pandemi, buruknya komunikasi krisis di pemerintah baik komunikasi vertikal maupun horisontal, kurangnya koordinasi antar sektor, sampai pada kesombongan akademis tentang ranah keilmuan penanganan pandemi. Covid-19 memang soal penyakit, masalah kesehatan yang menimpa masyarakat. Tetapi dampaknya tidak hanya terkait dengan masalah-masalah kesehatan, tetapi menjadi masalah sosial yang menyangkut banyak sendi kehidupan dalam masyarakat.
    Kita ambil saja satu contoh kejadian ketika pertama kali ditemukan kasus positif Covid-19 di Indonesia pada awal Maret 2020. Keriuhan komunikasi serta merta terjadi : saling menyalahkan, saling berpendapat, saling beradu argumentasi. Hyperreality media massa dan marak hoaks yang tersebar melalui aneka platform media sosial menambah keriuhan dan simpang siur informasi. Kepanikan melanda semua ruang baik ruang privat maupun ruang publik.
    Kemudian ketika sebuah kebijakan diambil pemerintah : Stay at Home atau Work from Home, ketika semua kantor, fasilitas umum, pertokoan dan pusat-pusat perbelanjaan, bahkan jalan-jalan ditutup suasana kepanikan itu makin terasa kuat. Kebijakan lockdown yang diterapkan di Wuhan sebagai titik awal pandemi seolah "menginspirasi" banyak orang termasuk saya untuk belanja besar-besaran demi mengisi stok persediaan makanan dan aneka kebutuhan rumah menghadapi situasi yang tak pasti kapan akan berakhir. Begitu mendadak, barang-barang kebutuhan dan bahan makanan pun kemudian langka, sementara stok terhenti tidak hanya karena penyedia barang harus tutup kantor tetapi juga jalan-jalan yang harus ditutup sampai akhirnya semua kebijakan di koreksi dan sedikit demi sedikit dikendalikan. 
    Sementara di sisi lain, hoaks makin sering bertebaran di media sosial. Kementerian Kominfo mencatat ada 147 berita bohong selama Januari-Maret 2020 terkait virus Corona (Kompas, 3 Maret 2020), dan meningkat tajam mencapai 1.016 hoaks  terkait Covid-19 yang tersebar di 1.912 platform. Dari sekian banyak hoaks terkait Covid-19 ini 20 persen diantaranya hoaks mengenai pencegahan dan pengobatan Covid-19 (Kompas, 6 September 2020). Narasi-narasi yang dibangun terkait pengobatan dan pencegahan Covid019 ini cenderung mudah dipercaya karena berbasis testimoni. Ditambah lagi  munculnya asumsi-asumsi teori konspirasi yang juga beredar di ruang publik dan dipercaya oleh sebagian masyarakat, ikut membangun kondisi "darurat" yang tidak hanya memperparah kepanikan masyarakat. Carut marut informasi, kekacauan dan keriuhan komunikasi, ditambah nuansa politis yang dipengaruhi polarisasi dukungan politik pasca pilpres 2019 tak urung menjadi satu masalah yang ikut memperberat upaya penanganan pandemi.
    Di masa awal pandemi ini, ada kegelisahan di hati saya muncul ketika di WhatsApp Group teman-teman akademisi yang sebagian besar berlatar ilmu sosial justru ikut larut dalam arus kepanikan, bahkan ikut share & re-share hoaks, yang kemudianmenghasilkan perdebatan dan berujung pada polarisasi dukungan politik. Entah kenapa teman-teman yang saya harapkan bisa berkontribusi mengendalikan kepanikan masyarakat, mencegah depresi akibat tekanan kondisi, meredakan persebaran hoaks, ikut memikirkan solusi penanganan pandemi, maah terbawa arus. Jiwa saya makin tidak terima ketika dorongan narasi bahwa pandemi adalah masalah kesehatan dan bukan wilayah ilmuwan sosial untuk terlibat makin kuat.
    Oh ya ? Kepanikan masyarakat berkaitan dengan psikologi sosial, dorongan aksi borong berkaitan dengan sosiologi dan budaya, belum lagi masalah ekonomi jika pasar, pertokoan dan pusat perbelanjaan, warung, resto, dan hotel tutup. Bagaimana para pedagang kecil, bagaimana pelaku UMKM ? Belum lagi saat ini, ketika masyarakat tidak patuh pada anjuran protokol kesehatan yang membuat terus bermunculan klaster-klaster penularan baru, rendahnya public trust kepada pemerintah, aktivitas-aktivitas politik sekelompok orang. Apakah lockdown, semi lockdown, total lockdown, karantina terbatas, atau karantina wilayah kecil ? Apakah masalah kesehatan atau masalah ekonomi yang harus menjadi prioritas penanganan, kalau dipilih salah satu apa dampaknya, kalau harus berjalan beriringan apa konsekuensinya ? Bagaimana pula dengan masalah pengangguran dan dampak yang ditimbulkan ?
    Semua ini adalah persoalan-persoalan yang harus ditangani dan butuh jawaban. Bukankah ini masalah-masalah di luar bidang kesehatan ? Faktanya, pandemi Covid-19 adalah masalah kesehatan yang pada akhirnya memicu munculnya permasalahan-permasalahan sosial. Kegelisahan saya yang pertama adalah : kemana para ilmuwan sosial berada saat masyarakat berada dalam situasi seperti ini ?

FAKTA YANG MENGGELITIK
    Saya tidak hendak membahas persoalan pandemi, masalah-masalah yang ditimbulkan, maupun solusi yang harus dijalankan. Disini saya hanya ingin mereka-reka bagaimana keilmuan sosial akan berkembang dimasa yang akan datang dan apa yang harus dilakukan dengan perkembangan keilmuan sosial terlebih mensikapi era disrupsi sebagai dampak revolusi industri dan komunikasi yang menghasilkan tumbuhnya masyarakat digital.
    Di masa lalu, kita terbiasa memilah ilmu menjadi dua, yakni ilmu sosial dan ilmu alam. Dan uniknya, ilmu alam dianggap lebih elit ketimbang ilmu sosial. Sebutan anak IPA lebih pinter secara akademis dibanding anak IPS, anak IPA lebih saintifik ketimbang anak IPS, bahkan dalam pembagian kelas dibedakan kelas Fisika, Biologi, Sosial, dan Bahasa didasarkan pada nilai akademik, meski ada juga  yang berdasar peminatan. Begitulah ilmu sosial dalam waktu yang sangat panjang dianggap sebagai keilmuan kelas dua.
     Saat ini, dikotomi IPA-IPS ini sudah tidak bisa lagi dilakukan. Ada banyak fakta sosial yang ternyata mengharuskan adanya emerging skill & emerging science or knowledge. Kita ambil saja satu contoh bidang ilmu yang mempelajari perilaku manusia berdasar kinerja otak : Behavioral Neuroscience. Ilmu yang sudah lama berkembang ini  adalah penggabungan dua keilmuan yakni bidang ilmu sosial dan ilmu alam (biologi). Mempelajari  perilaku manusia selama ini dipahami sebagai domain ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, dan psikologi. Sementara neurologi jelas domain keilmuan alam khususnya biologi. Tetapi mempelajari kinerja otak manusia ternyata bisa mengenali pola-pola perilakunya  dan dari pola perilaku manusia yang dikendalikan oleh otak ini seharusnya kita bisa membuat prediksi-prediksi pada setiap fakta sosial yang terjadi di sekitar kita, sekaligus membuat strategi untuk permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi. Di bidang ilmu komunikasi sendiri sudah emerging banyak bidang keilmuan sehingga menghasilkan ilmu-ilmu turunan yang lebih mendekat ke masalah-masalah faktual seperti komunikasi kesehatan (komunikasi terapeutik), komunikasi bencana, komunikasi krisis, komunikasi pariwisata, dan komunikasi kependidikan.
    Ini baru satu contoh saja. Kita bisa bayangkan betapa "menyenangkan" jika penggabungan berbagai keilmuan ini menghasilkan ilmu-ilmu turunan yang lebih mendekati fakta sosial sehingga kolaborasi antar ilmu dan para ilmuwan multidisiplin bisa menjawab persoalan-persoalan di masyarakat secara komprehensif dan secara holistik sehingga kesombongan-kesombongan akademis itu tidak perlu ada. 
    Dan memang seharusnya kesombongan akademis tidak perlu ada. Apalagi jika kita melihat fakta-fakta menggelitik yang kita lihat atau bahkan kita alami sendiri, dimana ilmu-ilmu yang kita dapatkan di bangku kuliah atau bangku sekolah ternyata tidak banyak bermanfaat di tempat kerja karena ternyata lapangan kerja yang dimasuki tidak sesuai dengan kompetensi yang diajarkan di bangku kuliah. Berapa banyak sarjana pertanian yang bekerja sebagai teller bank ? Atau sarjana peternakan yang bekerja sebagai sekretaris, sarjana teknik kimia yang bekerja sebagai staf administrasi, sarjana komunikasi yang bekerja sebagai kasir, dan masih banyak lagi. Faktanya, banyak lulusan sebuah program studi yang bekerja di lapangan kerja yang tidak relevan dengan kompetensi yang dipelajari, akhirnya harus belajar sendiri untuk menyesuaikan dengan tuntutan pekerjaan. Ini kegelisahan saya yang kedua.
    Kegelisahan ketiga berkaitan dengan pembelajaran jarak jauh selama pandemi Covid-19 yang tentu saja mendistorsi konten pembelajaran akibat ketidaksiapan pendidik, peserta didik, hambatan kepemilikan perangkat dan penguasaan teknologi, dan hambatan-hambatan lainnya. Mungkin sebagian orang akan berkata "Lho...Teknologi memungkinkan PJJ berjalan efektif sama seperti tatap muka." Benarkah ? 

PEROMBAKAN KURIKULUM
    Membahas bagaimana peluang Ilmu-Ilmu Sosial dimasa yang akan datang, bisa berangkat dari dua kegelisahan diatas. Pertama soal kontribusi ilmu dan ilmuwan sosial dalam masalah-masalah sosial dan yang kedua soal betapa makin lama lapangan kerja yang tersedia makin hybrid, alias multi-disiplin, lintas disiplin.
    Dilihat dari pengelompokan Ilmu Alam dan Ilmu Sosial berdasar pohon ilmu sebagaimana kita sering diajarkan ketika mulai awal belajar Filsafat Ilmu, sesungguhnya bisa kita rasakan bahwa makin kesini makin tidak relevan dengan situasi saat ini terutama berkaitan dengan kemanfaatan ilmu untuk menjawab persoalan-persoalan aktual dan faktual di masyarakat. 
    Dalam perspektif kompetisi, banyak lahan konservatif lulusan Ilmu Sosial yang sekarang dimasuki oleh lulusan bidang keilmuan non Sosial. Disisi lain, keberadaan lapangan kerja juga makin hybrid dan makin interdisipliner. Lulusan Ilmu Sosial tidak hanya bersaing dengan lulusan bidang ilmu lain, tetapi juga lulusan Ilmu Sosial antar negara, apalagi intervensi teknologi memungkinkan sebuah pekerjaan bisa dilakukan dari jarak jauh. Belum lagi dengan makin pesatnya perkembangan teknologi di berbagai bidang yang memaksa semua lulusan lembaga pendidikan tak hanya bersaing dengan sesama lulusan tetapi juga bersaing dengan Artificial Intelligent, Augmented Reality, juga otomasi digital yang membuka peluang semua pekerjaan bisa digantikan oleh teknologi.

    Bagaimana lembaga pendidikan memandang dan menjawab kehadiran kompetitor-kompetitor ini ?

    Selama ini paradigma belajar di lembaga pendidikan lebih seperti menuang air ke dalam gelas, mengisi gelas dengan air yang berasal dari sebuah kan, banyak sedikitnya tergantung yang menuangkan. Padahal disisi lain, tanggung jawab lembaga pendidikan adalah memajukan dan mencerdaskan bangsa, menghasilkan SDM yang berkualitas dan menguasai IPTEK. Tapi kalimat-kalimat indah ini seringkali hanya kita lihat tertulis di visi misi di buku borang akreditasi, yang tidak selalu (sekali lagi : tidak selalu) linier dengan kualitas lulusan yang dihasilkan. Proses belajar mengajar sendiri lebih cenderung teaching daripada mentoring. Bukan hal yang salah, tapi nampaknya sudah tidak relevan lagi untuk situasi saat ini. Memang tidak sedikit kampus yang sudah mengubah paradigma belajar satu arah, tetapi  secara umum cara-cara lama yang konvensional masih banyak dilakukan.
    Perubahan memang harus segera dilakukan sejalan dengan kecepatan perubahan terutama perkembangan teknologi yang membuat dunia makin disrupted. Hari ini kondisi disrupsi sudah bukan lagi sekedar perubahan radikal dari sebuah kemapanan, melainkan tumbangnya segala sesuatu yang relevan disuatu masa untuk digantikan sesuatu yang benar-benar baru. Jangan sampai lulusan bertemu dengan ilmu dan teknologi baru yang berbeda dengan yang diperoleh selama menjalani proses pembelajaran. Ini tantangan pendidikan saat ini. Harus segera ada perombakan kurikulum yang memungkinkan pencapaian hasil lulusan yang siap dengan berbagai perubahan.
        Capaian Pembelajaran yang ditetapkan setidaknya diarahkan untuk menghasilkan lulusan yang multi-disiplin & memiliki hybrid competence. Ya.. kalau bahasa indahnya menghasilkan  lulusan yang mampu bertahan menghadapi berbagai perubahan, mampu berkembang, mampu mengambil inisiatif, bisa memimpin dan sebagainya sehingga tidak menjadi korban  disrupsi & hyper-competition. Maka pembelajaran sebanyak mungkin dirancang dalam bentuk problem base learning, sementara penguasaan teknologi digital menjadi basic skill yang harus dimiliki selain listening, writing, dan speaking in English dan/atau bahasa asing lainnya. Dalam hal kampus atau lembaga pendidikan tidak bisa menyiapkan materi tertentu sebagaimana yang dibutuhkan, maka peserta didik semestinya diberikan peluang untuk belajar di luar kampus sesuai dengan passion masing-masing. Kalau yang ini mungkin selaras dengan konsep merdeka belajar yang sekarang sedang digaungkan.
    Kembali ke dimana peran ilmu sosial dalam menjawab persoalan-persoalan di masyarakat, lulusan program studi ilmu-ilmu sosial setidaknya juga dibekali dengan kemampuan untuk formulating social problem solution.  Tanpa bermaksud mengabaikan atau tidak memandang penting keilmuan lain, harus diakui persoalan-persoalan masyarakat memerlukan peran besar para ilmuwan bidang sosial. Keilmuan sosial bisa menjadi jembatan bagi berbagai keilmuan lain dalam menjawab persoalan sosial. Sebab di era disrupsi seperti saat ini dimana perkembangan teknologi membuat berbagai perubahan yang terus menerus membuat kita nubyak-nubyak alias gagap, penguasaan ilmu dan teknologi, sinergitas antar berbagai bidang, dan mutual friendship trust berbasis empati akan menjadi satu kekuatan untuk mengendalikan perubahan dan persoalan-persoalan yang muncul sebagai konsekuensi adanya perubahan. 
    Gagasan untuk memunculkan disiplin ilmu baru, SOCIOPRENEUR dan DIGITAL INTELLIGENT adalah gagasan baik yang perlu segera ditindaklanjuti dengan konsep detil yang matang. Cepatlah, perubahan tidak menunggu rumitnya proses birokrasi perombakan kurikulum.

REFERENSI

Schenker, Jason. (2020), The Future After Covid : Futurist Expectations for Changes, Challenges, and Opporunities After the Covid-19 Pandemic, Prestige Professional Publishing, LLC

https://nasional.kompas.com/read/2020/03/03/15330451/selama-23-januari-3-maret-2020-kominfo-deteksi-147-hoaks-soal-virus-corona

https://nasional.kompas.com/read/2020/09/05/09090921/6-bulan-pandemi-covid-19-hoaks-dan-teori-konspirasi-yang-memperparah?page=all

















SEKOLAHKU ADA DI TUMPUKAN BUKU

  "A wealth of information creates a poverty of attention" Herbert A. Simon ~ Pemenang Hadiah Nobel di bidang Ekonomi, 1978 Sudah ...