"A wealth of information creates a poverty of attention"
Herbert A. Simon ~ Pemenang Hadiah Nobel di bidang Ekonomi, 1978
Sudah bukan rahasia lagi, minat baca di Indonesia memang rendah. Survey yang dilakukan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dalam Program for International Student Assesment (PISA) pada tahun 2019 lalu menunjukkan minat baca masyarakat Indonesia ada di peringkat 62 dari 70 negara yang disurvey. Sementara, di tahun yang sama UNESCO menyebut minat baca hanya seperseribu. Artinya, dari seribu orang hanya ada satu saja yang punya minat baca. Selebihnya ada di spektrum minat baca rendah sampai sedang. Meski tidak terlalu menggembirakan, Indeks Kegemaran Membaca masyarakat Indonesia sudah mengalami peningkatan dari 26,5 pada tahun 2016 menjadi 55,74 pada tahun 2020, dengan range skor 0-100.
Keterbatasan sumber bacaan dan mahalnya harga buku bacaan seringkali dianggap sebagai penyebab rendahnya literasi atau minat baca masyarakat Indonesia. Tetapi asumsi ini tentu saja tidak lagi relevan untuk era internet saat ini dimana sumber pengetahuan sudah seperti udara yang kita hirup setiap tarikan nafas. Bahkan semburan informasi membuat kita overload sehingga banyak informasi yang tidak sempat kita perhatikan. Ya...kita ada di medan magnet informasi dan hanya informasi yang relevan dengan kebutuhan kita saja yang akan kita akses.
Rendahnya minat baca masyarakat Indonesia menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan rendah daya saing SDM, rendah Indeks Pembangunan Sumber Daya Manusia (IPM), rendah inovasi, rendah income perkapita, bahkan sampai rendah indeks kebahagiaan. Saya ada cerita tentang bagaimana minat baca yang tinggi bisa membuat seseorang mengatasi hampir semua akibat negatif dari rendah baca. Bahkan dengan tingkat pendidikan yang hanya D1, kegemaran membaca mengantar seorang kawan baik ini ke posisi General Manager sebuah perusahaan jasa konsultan hospitality ternama di Jakarta.
ANTARA BUKU DAN ILMU
Saya mengenal Ade Sudandyo sebagai sesama penggemar buku. Biasanya kami "mojok" di sembarang tempat yang memungkinkan untuk asyik membaca dan minum kopi, lalu diskusi. Ade dengan buku-buku manajemen, saya dengan buku-buku komunikasi. Kadang kami asyik baca novel juga atau resume alur cerita film. Bagaimana latar belakang keilmuan yang berbeda bisa membuat kami nyambung ? Ya..karena sama-sama antusias pada bacaan, sehingga bagi kami membaca buku apapun seolah menjadi pertemuan dalam ruang kelas dimana banyak ilmu bisa kami dapat dan banyak materi bisa kami diskusikan. Lagipula, sebagai pengajar di jurusan Ilmu Komunikasi, memang ada mata kuliah yang kontennya mengandung keilmuan manajemen. Dalam bahasan-bahasan materi soal ini, saya sering menimba ilmu pada Ade Sudandyo.
Ade seperti seorang guru bagi saya. Dia bukan seorang profesor yang menguliti ilmu manajemen dari bangku kuliah. Ade hanya lulusan D1 dan ini menjadikannya sosok yang luar biasa di mata saya. Maka ketika Refli Harun membandingkan Presiden Joko Widodo dengan Anies Baswedan berdasarkan gelar dan tingkat pendidikan, saya termasuk orang yang tidak sependapat. Bagi saya pencapaian sukses seseorang tidak tergantung pada seberapa tinggi kemampuan akademis, meskipun seringkali jenjang akademis menunjang sukses. Tapi ia hanya salah satu faktor penunjang saja. Faktor utama adalah disiplin, kerja keras, dan komitmen yang tinggi untuk mencapai sukses yang diinginkan, atau menjadi hebat sesuai definisi yang ditetapkan.
Menarik prinsip yang dipegang oleh kawan saya ini. “ Saya paham, saya punya kekurangan (hanya lulusan D1). Sementara kompetitor saya secara jenjang pendidikan lebih hebat dari saya. Dari kekurangan ini, maka effort yang harus saya lakukan mesti berkali lipat untuk bisa menyamai bahkan melebihi mereka.” Sikap mas Ade ini mengingatkan saya pada sebuah quote bagus yang tertulis di sebuah buku agenda yang saya dapatkan dari sebuah bank :
DON’T BE A DREAM, BE A DREAMER
Setiap kita, pasti memiliki impian dan seringkali membayangkan berhasil merealisasikan impian kita. Membangun sebuah impian tidak sama dengan mengkhayal. Saat mengkhayal, kita boleh membayangkan capaian yang setinggi langit. Tetapi tidak dengan bermimpi. Menggapai sebuah impian diperlukan usaha, dan karenanya membangun impian harus sesuai dengan modal yang dimiliki. Ini yang dilakukan mas Ade Sudandyo, ketika menjalani karir karena harus bersaing dengan mereka yang latar belakang pendidikannya lebih tinggi dari dirinya.
BOOK TAKES YOU TO A LIMITLESS JOURNEY
Sore itu kami tak sedang membahas tentang konsep manajerial sebagaimana yang sehari-hari digeluti oleh mas Ade Sudandyo. Masih soal aktivitas mojok membaca buku sambil ngopi, lalu diskusi sebagaimana biasa kami lakukan. Meski saya tidak banyak belajar tentang ilmu manajemen, kali ini obrolan kami seputar bagaimana dari hoby membaca buku telah membuat Ade menemukan satu konsep manajemen diri yang saat ini ia terapkan dalam menjalankan pekerjaannya. Ia menggambarkan dalam bentuk piramida kekuatan (Pyramid of Strength) seperti berikut :
1. The strenght of intelligence
Secara sederhana, kekuatan inteligensia ini dimaknai bahwa seorang pemimpin semestinya tidak kalah cerdas, tidak kalah cerdik, bahkan dalam bahasa kasar tidak boleh kalah culas dibanding anak buah. Itu sebabnya belajar “membaca” itu menjadi sangat penting. Membaca buku, membaca karakter orang, membaca data, membaca situasi, membaca pergerakan, semuanya. “Just so I know and I can control the whole situation.” Dalam piramida diatas nampak bahwa kecerdasan ada di puncak, atau di posisi paling atas tapi porsinya paling kecil dibanding kekuatan yg lain (lihat bidang A dibanding bidang B dan C). Porsi kecil tapi paling utama inilah yang membuat seorang pemimpin harus terus belajar, dan yang paling sederhana tapi butuh pembiasaan dan ketelatenan adalah membaca buku.
2. The strenght of personallity
Perusahaan adalah sebuah entitas sekaligus unit sosial. Banyak hal, banyak orang yg berinteraksi dengan kita. Hakekat management adalah GETTING THINGS DONE WITH OR THROUGH PEOPLE. Bagaimana kita berinteraksi dengan atasan, bawahan, teman sejawat, bahkan orang luar, akan menentukan sukses atau tidaknya kita. Untuk hal ini, mas Ade membuat satu analogi begini : roti di Monami itu sama lezat dengan yg di jual breadtalk. Tapi, breadtalk lebih terkenal dan laku. Why?Karena breadtalk membungkus rotinya lebih cantik, dan menyajikannya dengan cara yg cantik pula.
Begitu juga kita. Hakikat manajemen pada dasarnya adalah bagaimana kita bersinergi dengan orang lain dalam tim, sehingga bisa mencapai tujuan bersama secara lebih efektif. Mas Ade me bahasakannya dengan NJALUK TULUNG ke orang lain. Maka seorang pemimpin atau manajer yang baik akan berusaha "membungkus" diri sendiri dengan lebih baik. Dengan sikap yg baik, penampilan yg baik, kemampuan yg baik. “Sudah sewajarnya jika kita minta tolong, ya mesti dengan cara yg baik.”Mendasar sekali. Oleh sebab itu, kekuatan ini porsinya lebih besar. Intinya, bungkuslah diri kita dengan sikap andhap asor, ngajeni, dan rendah hati.
3. The strenght of mentallity
Dalam piramida kekuatan yang disajikan Ade Sudandyo, fondasi dari semua kekuatan itu adalah kekuatan mental. Bidangnya paling besar, paling bawah, menandakan bahwa kekuatan ini adalah fundamental. Jika tidak kuat, pasti ambruk. Mengapa ? Dalam dunia kerja, sometimes shit happened. Berbagai tekanan baik dari internal perusahaan maupun dari kompetitor tidak bisa dihindari. Sikut-sikutan antar sejawat, tekanan target, bahkan tuntutan eksternal bisa menguras tenaga dan pikiran.
Dunia kerja bukan wonderland yang serba cantik, manis, enak dan indah. Adu argumen, bersilang ego, bahkan kekerasan psikis biasa terjadi. Bukan hal aneh jika saling sikut, saling ingin menjatuhkan Yang menunggu kita terpeleset, lalu bertepuk tangan, bersuka cita, lebih banyak. Sementara di depan kita mereka tersenyum manis. Itulah sebabnya diperlukan mental yang kuat. Tetapi dari hal-hal terburuk, kadang justru menjadi pelajaran terbaik.
Ramuan 3 kekuatan yang dirumuskan dalam Pyramid of Strength diatas jika diramu dengan baik akan menghasilkan kepemimpinan yang demokratis. Dalam proses komunikasi manajerial, implementasinya bisa dilakukan melalui diskusi dengan staf atau anak buah sebelum mengambil keputusan atau membuat kebijakan. Sedangkan dengan sejawat yang satu level, komunikasi koordinasi dilakukan termasuk pengambilan arah kebijakan berdasar peraturan baik aturan internal perusahaan maupun aturan umum. Mengapa harus ada landasan aturan yang berlaku ? Karena dengan sejawat yang posisinya sama atau satu tingkat diperlukan upaya saling menjaga ego sehingga tidak terjadi benturan atau persinggungan.
Beda lagi dengan komunikasi kepada atasan, sudah tidak lagi bicara a la diskusi dengan staf atau anak buah, atau bicara soal regulasi, tetapi lebih kepada hasil analisis yang mempengaruhi alasan sebuah kebijakan diambil atau perlu diputuskan. Meski nampak diperlukan banyak kompromi dalam praktik manajerial, tetapi ada saatnya diperlukan sikap tegas. Ini yang dilakukan mas Ade Sudandyo “Kerjakan yang saya perintahkan, yang tidak mau silakan keluar dari tim, selebihnya menjadi tanggung jawab saya.” Ini terjadi pada situasi yang benar-benar krusial saja.
Karena kegigihannya inilah, Ade Sudandyo sebagai konsultan hospitality seringkali mendapat tugas melakukan pembenahan di perusahaan-perusahaan yang sedang “sakit” atau menjadi pengawal di perusahaan yang baru dibuka. Secara pribadi, dengan pendidikan hanya sampai D1, Mas Ade memang punya impian yang sangat besar, “I have to be a general manager. Which, i will not able to achieve it if i stay.”
Nah, dari pengalaman seorang Ade Sudandyo yang sekarang sudah bisa mencapai cita-cita menjadi seorang General Manager perusahaan konsultan hospitality, kita bisa melihat jenjang pendidikan bukanlah satu-satunya penentu sukses seseorang, bukan penanda kualitas diri seseorang. Kemauan belajar, komitmen dan kerja keras, serta pengalaman adalah kualitas diri yang tervalidasi dengan hasil kinerja. Jadi bukan lembar ijazah tanda tingginya jenjang pendidikan.
BUKU: JENDELA ILMU
Tanpa harus keliling dunia atau harus menempuh studi hingga berjenjang-jenjang, bahkan lintas keilmuan, kita bisa mengetahui banyak hal dan mendapatkan banyak ilmu dengan membaca buku sebanyak mungkin. Ada banyak pendapat mengenai manfaat membaca, salah satunya meningkatkan fokus dan daya ingat serta mengurangi stress hingga 67 persen.
Pada dasarnya, aktivitas membaca dapat menstimulasi otak untuk bekerja lebih baik dan lebih aktif, dan dengan sendirinya akan membuat orang terlatih berpikir kritis, analitis, dan kreatif. Sama seperti kita berlatih naik sepeda, untuk menjadi terampil bersepeda kita perlu berlatih, merasakan jatuh bangunnya, dan diulang-ulang hingga terampil. Naah, membaca juga satu bentuk latihan yang merangsang kerja otak supaya lebih aktif, sehingga kapasitas memori pun bertambah. Ingat saja bahwa dalam aktivitas membaca, kita sekaligus membangun theater of mind.
Saat membaca, otak kita akan membangun gambaran tentang apa yang kita baca. Dengan sendirinya direktori dalam otak kita tentang waktu, tempat, peristiwa, dan berbagai pengetahuan dan pengalaman akan terus bertambah. Penelitian yang dilakukan Haskins Laboratories for the Science of the Spoken and Written Word menunjukkan bahwa aktivitas membaca membuat kita mempunyai banyak kesempatan untuk memproses, berpikir, dan membayangkan narasi sehingga dengan terlatihnya otak pada aktivitas ini akan dapat meningkatkan daya ingat, bahkan kemampuan memori jangka panjang.
Keutamaan dari aktivitas membaca secara umum memang meningkatkan pengetahuan, wawasan, dan yang jelas menambah direktori kosakata. Tapi melatih untuk fokus dan konsentrasi, berlatih sabar dan konsisten, juga memberi ketenangan. Yaa.. kalau mau ditulis semua, manfaat membaca memang sangat banyak. Tapi yang terpenting sebenarnya output yang dihasilkan dari aktivitas membaca. Dalam banyak kajian, kebiasaan membaca berdampak positif pada kinerja seseorang. Being focus, consistent, and persistance akan membuat kita juga bekerja secara lebih baik dan dengan demikian prestasi tentu saja akan mengikuti.
Apakah hanya membaca bacaan ilmiah dan ilmiah populer yang bermanfaat bagi kualitas diri ? Nope. Membaca novel atau cerita-cerita fiksi juga memiliki banyak manfaat, selain sebagai pelepasan diri dari rutinitas, membaca fiksi juga meningkatkan empati melalui narasi dan karakter sosok dalam cerita yang seringkali dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Naah.. masih berpikir bahwa kualitas diri ditentukan oleh berderet gelar kesarjanaan, bertumpuk ijazah dan sertifikat ?
“Ada dua motif untuk membaca buku.
Pertama, kau menikmatinya.
Dan selebihnya, kau bisa menyombongkannya”
~ Bertrand Russell ~
Surakarta, 10 Oktober 2021
kalo buku adalah jendela ilmu dimana pintu nya?
BalasHapus