"We cannot not communicate"
(Paul Watzlawick)
Tidak ada yang memungkiri bahwa manusia hidup akan selalu terlibat dalam perilaku komunikasi. Bahkan setiap perilaku manusia, entah disadari atau tidak, berpotensi mengirim pesan komunikasi kepada orang lain. Begitu melekat aktivitas komunikasi ini pada kehidupan manusia sehingga bisa dikatakan berkomunikasi itu seperti kita bernafas, sesuatu yang dibutuhkan dan tidak terhindarkan. Tetapi sebagaimana kita bernafas, komunikasi sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupan kita ini justru sering dianggap tak penting untuk dipelajari. Mengapa ? Karena kemampuan berkomunikasi ini bertumbuh sejalan dengan pertumbuhan manusia. Tapi benarkah tak penting belajar terampil berkomunikasi ? Faktanya, banyak persoalan dalam kehidupan manusia yang bermula dari kegagalan komunikasi.
Di awal abad 20 sekitar terjadinya Perang Dunia II, fenomena komunikasi muncul menjadi bahasan yang menarik untuk dipelajari terkait dengan kekuatan media massa, opini publik, praktik-praktik propaganda, dan juga komunikasi persuasi. Harrold Lasswell dengan teori Hypodermic Needle, menggambarkan kekuatan propaganda media massa dalam mempengaruhi publik. Teori ini menggambarkan ketidakberdayaan publik menghadapi pesan media sehingga menghasilkan perubahan atau menggerakkan perilaku tertentu.
Kekuatan komunikasi media massa ini juga menemukan moment besar dalam terjadinya kepanikan massal yang disebabkan oleh penyiaran drama radio War of The World di Columbian Broadcasting System (CBS) pada tahun 1938, dimana pendengar radio menyangka bahwa laporan yang disiarkan radio itu mengenai invasi makhluk dari Mars ke bumi adalah kejadian nyata. Dan memang drama radio itu dibuat dalam bentuk seolah-olah siaran langsung menegani adanya makhluk luar angkasa yang turun ke bumi, dibumbui wawancara dengan pejabat setempat, termasuk dari FBI dan NASA sehingga seolah-olah nyata.
Kepanikan ini menimbulkan asumsi mengenai kekuatan media dalam mempengaruhi atau mengerakkan publik. Dan sejak itu studi mengenai komunikasi menghasilkan banyak teori yang menunjukkan bagaimana kekuatan media mempengaruhi publik. Tidak hanya bagaimana kekuatan komunikasi dalam praktik-praktik retorika dan propaganda, tetapi juga berbagai tindakan manipulasi fakta yang melibatkan tidak hanya komunikasi antar individu, antar kelompok, peran opinion leader tetapi juga peran media massa.
Nah, di era-era baru perkembangan keilmuan komunikasi ini sudah menggabungkan berbagai keilmuan sosial (interdispliner) seperti psikologi, sosiologi, politik, dan filsafat tentunya. Diawal-awal pemodelan perilaku komunikasi bahkan menggunakan model-model matematis maupun fisika, juga keilmuan biologi untuk meggambarkan perilaku komunikasi misalnya berkaitan dengan komunikasi antar individu yang digambarkan dengan layer kulit bawang untuk menjelaskan tingkatan kedekatan hubungan antar individu dalam boundaries. Bahkan ilmu kedokteran saraf (neuroscience) juga memberi penjelasan mengenai perilaku manusia berkaitan dengan aktivitas komunikasi.
Artinya apa ? Di era masyarakat berjaringan saat ini, integrasi berbagai keilmuan memang bukan lagi sesuatu yang aneh, bahkan sangat diperlukan untuk menjawab persoalan-persoalan sosial. Dan ilmu komunikasi menjadi ilmu yang sangat luwes untuk bisa bersinergi dengan keilmuan lain sehingga menghasilkan satu keilmuan baru atau masuk menjadi bagian dari kurikulum keilmuan non komunikasi. Why not ? :)
ILMU KOMUNIKASI & KEUNGGULAN PRAGMATIS
Unik memang jika kita perhatikan, dalam setiap peristiwa sosial saat ini selalu berkaitan dengan dunia komunikasi, dengan perilaku komunikasi. Kita masih ingat carut marut komunikasi publik pemerintah RI diawal pandemi Covid19 awal tahun 2020, bagaimana informasi lalu lalang dari ruang publik hingga ke ruang privat, hoaks dan analisa-analisa sok tahu yang bermunculan hingga menghasilkan kepanikan. Kita lihat, kepanikan dihasilkan dari kurangnya informasi, kepanikan lebih bernuansa psikologis yang dalam tahap selanjutnya bisa menimbulkan stres dan depresi dimana kondisi depresi dalam taraf tertentu memerlukan penanganan tenaga medis, yang dalam memberikan penanganan mungkin tidak hanya dengan obat tetapi juga terapi healing. Komunikasi lagi kan ?? ;)
Atau dalam banyak peristiwa politik, ilmuwan politik dan politisi pada umumnya lebih tertarik pada data dan angka kuantitatif. Tingkat kemiskinan, angka pengangguran, jumlah pemilih, dan angka-angka indikator lain yang kelak akan bermanfaat atau tepatnya dimanfaatkan sebagai dasar menyusun kebijakan. Hampir tak ada ilmuwan politik yang melirik bahwa kemenangan sebuah parpol bisa ditentukan oleh perilaku pemilihnya. Orang lebih suka hanya menyebut dikotomi pemilih rasional dan pemilih emosional, plus floating mass kalau ada. Tetapi tentang karakter pemilih yang didasarkan pada perilaku baru disadari akhir-akhir ini saja. Dan memenangkan agenda publik tentu diperlukan narasi-narasi yang sesuai karakter publik. Inilah perlunya politisi memiliki keterampilan komunikasi publik, melakukan analisis audiens, bahkan tidak sedikit yang menggunakan jasa ahli strategi komunikasi untuk mendukung upaya memenangkan narasi melalui berbagai kanal komunikasi.
Komunikasi bisa dipandang sebagai sebuah ilmu pengetahuan, satu keahlian, bahkan dianggap sebagai seni. Ini menunjukkan betapa lentur ilmu komunikasi ini diantara ilmu-ilmu yang lain, sehingga bisa berintegrasi dengan berbagai ilmu sekaligus menjadi tools untuk menghubungkan dunia sosial dengan segala aspeknya. Komunikasi bukan lagi dipandang sebagai sebuah proses penyampaian pesan, tidak lagi sebatas menginterpretasikan lambang-lambang, dan bukan lagi sekedar memberikan cara mendeskripsikan dunia tetapi lebih kepada bagaimana mengkonstruksi dunia. Komunikasi bukan lagi soal menceritakan sebuah peristiwa, tetapi membuat sebuah peristiwa menjadi bermakna dimana pemaknaan ini bisa disesuaikan dengan kebutuhan atau kepentingan baik secara proses, konten, maupun hasil.
Lasswell mendefinisikan komunikasi sebagai who says what to whom by what channel with what effect. Ia berbicara mengenai komponen atau unsur-unsur komunikasi yang terdiri dari komunikator penyampai pesan, pesan itu sendiri, media yang digunakan, komunikan atau penerima pesan, dan efek yang dihasilkan. Berbicara mengenai komunikator, akan berkaitan dengan siapa yang berbicara. Ini menyangkut kredibilitas penyampai pesan. Bisa karena kapasitasnya, kapabilitasnya, atau ketokohannya. Berbicara mengenai pesan selalu akan berkaitan dengan efektivitas pesan dan ragam pesan yang diminati penerima pesan, dan tentu saja disesuaikan dengan kebutuhan dan karakter penerima pesan atau komunikan. Lalu kita akan berbicara mengenai media yang tepat atau yang sesuai digunakan untuk pesan tertentu dan kelompok penerima pesan tertentu. Sehingga di akhir sebuah rangkaian aktivitas atau proses komunikasi, kita dapat berharap akan terjadi efek pesan sesuai yang diharapkan si pengirim pesan.
Di era revolusi komunikasi seperti sekarang, dimana kita sudah masuk dalam masyarakat berjaringan yang difasilitasi kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang terus berkembang sangat pesat, hampir semua definisi dalam teori-teori komunikasi yang sudah ada selama ini benar-benar telah terdisrupsi. Setiap orang adalah komunikator yang memiliki medianya sendiri-sendiri. Setiap orang adalah komunikan bagi orang lain. Relasi komunikasi publik bukan lagi hanya antara komunikator lembaga/organisasi/instansi dengan publik, bukan lagi soal media massa dan pengakses atau konsumen media massa, tetapi antar semua elemen dalam struktur sosial. Sebuah isu atau pesan publik bisa memasuki ruang-ruang privat tanpa sekat. Demikian juga sebaliknya, pesan privat juga dengan mudah diakses publik ketika dikomunikasikan melalui berbagai platform media sosial.
Dalam konteks keilmuan komunikasi, ini adalah tantangan besar. Sifat ilmu komunikasi yang sangat cair karena bisa menembus banyak ruang, membuka lebar peluang sinergitas lintas keilmuan. Tadi sudah disebutkan, komunikasi sudah bukan lagi dimaknai sebagai penyampaian dan pemaknaan pesan, tetapi bagaimana kita mengkonstruksi dunia. Maka keilmuan komunikasi berpeluang mengarah pada solusi atas masalah-masalah sosial, dan tentu saja melalui sinergi dengan keilmuan lain. Memang wacana sinergitas keilmuan ini bukan perkara mudah, karena tentu saja dipengaruhi egosentris masing-masing ilmu (ilmuwan). Tetapi tuntutan hadirnya solusi atas berbagai persoalan masyarakat yang memerlukan sinergi semua elemen dalam struktur masyarakat, harus menjadi kesadaran bersama sehingga unifikasi berbagai keilmuan menjadi satu ilmu baru bisa dimungkinkan.
Nah, dimana peluang ilmu komunikasi ? Mengapa belajar komunikasi itu penting ? Saya tidak akan memberi jawaban, tetapi mengajak pembaca untuk melihat beberapa ilmu yang mengandung muatan ilmu komunikasi dan juga keilmuan lain berikut ini : Komunikasi Pemasaran (Marketing Communication), Desain Grafis (Graphic Design), Analisis Khalayak (Audience Analysis), Komunikasi Publik (Public Communication), Komunikasi Perubahan Sosial (Communication for Social Change), Komunikasi Terapeutik (Therapeutic Communication), Komunikasi Krisis (Crisis Communication), Komunikasi Antarpribadi (Interpersonal Communication)
Setelah itu, mari berselancar melihat berbagai persoalan-persoalan di masyarakat. Mana persoalan yang tidak melibatkan komunikasi ? Mau membangun waduk, perlu komunikasi dengan masyarakat sekitar. Panik akibat tersebarnya berbagai informasi hoaks, perlu share klarifikasi informasi yang benar. Menghadapi demo kelompok masyarakat, perlu dialog. Nah....... :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar