Senin, 26 Oktober 2020

BAGAIMANA MASA DEPAN ILMU-ILMU SOSIAL DI ERA DIGITAL ?


KEGELISAHAN ITU

    Di awal terjadi pandemi Covid-19 di Indonesia sekitar Maret 2020, kita dihadapkan pada banyak situasi yang lebih mencerminkan kepanikan masyarakat : ketakutan berlebihan, borong memborong persediaan pangan menghadapi lockdown, kelangkaan masker dan hand sanitizer, sampai pada beredarnya aneka ragam hoaks mengenai virus, dampak virus, cara penularan, cara pengobatan, bahkan beredar potongan-potongan film Contagious yang dinarasikan sebagai video kejadian yang menunjukkan keganasan Coronavirus.
    Kepanikan, maraknya hoaks, kesimpangsiuran informasi mengenai virus dan penanganan pandemi, buruknya komunikasi krisis di pemerintah baik komunikasi vertikal maupun horisontal, kurangnya koordinasi antar sektor, sampai pada kesombongan akademis tentang ranah keilmuan penanganan pandemi. Covid-19 memang soal penyakit, masalah kesehatan yang menimpa masyarakat. Tetapi dampaknya tidak hanya terkait dengan masalah-masalah kesehatan, tetapi menjadi masalah sosial yang menyangkut banyak sendi kehidupan dalam masyarakat.
    Kita ambil saja satu contoh kejadian ketika pertama kali ditemukan kasus positif Covid-19 di Indonesia pada awal Maret 2020. Keriuhan komunikasi serta merta terjadi : saling menyalahkan, saling berpendapat, saling beradu argumentasi. Hyperreality media massa dan marak hoaks yang tersebar melalui aneka platform media sosial menambah keriuhan dan simpang siur informasi. Kepanikan melanda semua ruang baik ruang privat maupun ruang publik.
    Kemudian ketika sebuah kebijakan diambil pemerintah : Stay at Home atau Work from Home, ketika semua kantor, fasilitas umum, pertokoan dan pusat-pusat perbelanjaan, bahkan jalan-jalan ditutup suasana kepanikan itu makin terasa kuat. Kebijakan lockdown yang diterapkan di Wuhan sebagai titik awal pandemi seolah "menginspirasi" banyak orang termasuk saya untuk belanja besar-besaran demi mengisi stok persediaan makanan dan aneka kebutuhan rumah menghadapi situasi yang tak pasti kapan akan berakhir. Begitu mendadak, barang-barang kebutuhan dan bahan makanan pun kemudian langka, sementara stok terhenti tidak hanya karena penyedia barang harus tutup kantor tetapi juga jalan-jalan yang harus ditutup sampai akhirnya semua kebijakan di koreksi dan sedikit demi sedikit dikendalikan. 
    Sementara di sisi lain, hoaks makin sering bertebaran di media sosial. Kementerian Kominfo mencatat ada 147 berita bohong selama Januari-Maret 2020 terkait virus Corona (Kompas, 3 Maret 2020), dan meningkat tajam mencapai 1.016 hoaks  terkait Covid-19 yang tersebar di 1.912 platform. Dari sekian banyak hoaks terkait Covid-19 ini 20 persen diantaranya hoaks mengenai pencegahan dan pengobatan Covid-19 (Kompas, 6 September 2020). Narasi-narasi yang dibangun terkait pengobatan dan pencegahan Covid019 ini cenderung mudah dipercaya karena berbasis testimoni. Ditambah lagi  munculnya asumsi-asumsi teori konspirasi yang juga beredar di ruang publik dan dipercaya oleh sebagian masyarakat, ikut membangun kondisi "darurat" yang tidak hanya memperparah kepanikan masyarakat. Carut marut informasi, kekacauan dan keriuhan komunikasi, ditambah nuansa politis yang dipengaruhi polarisasi dukungan politik pasca pilpres 2019 tak urung menjadi satu masalah yang ikut memperberat upaya penanganan pandemi.
    Di masa awal pandemi ini, ada kegelisahan di hati saya muncul ketika di WhatsApp Group teman-teman akademisi yang sebagian besar berlatar ilmu sosial justru ikut larut dalam arus kepanikan, bahkan ikut share & re-share hoaks, yang kemudianmenghasilkan perdebatan dan berujung pada polarisasi dukungan politik. Entah kenapa teman-teman yang saya harapkan bisa berkontribusi mengendalikan kepanikan masyarakat, mencegah depresi akibat tekanan kondisi, meredakan persebaran hoaks, ikut memikirkan solusi penanganan pandemi, maah terbawa arus. Jiwa saya makin tidak terima ketika dorongan narasi bahwa pandemi adalah masalah kesehatan dan bukan wilayah ilmuwan sosial untuk terlibat makin kuat.
    Oh ya ? Kepanikan masyarakat berkaitan dengan psikologi sosial, dorongan aksi borong berkaitan dengan sosiologi dan budaya, belum lagi masalah ekonomi jika pasar, pertokoan dan pusat perbelanjaan, warung, resto, dan hotel tutup. Bagaimana para pedagang kecil, bagaimana pelaku UMKM ? Belum lagi saat ini, ketika masyarakat tidak patuh pada anjuran protokol kesehatan yang membuat terus bermunculan klaster-klaster penularan baru, rendahnya public trust kepada pemerintah, aktivitas-aktivitas politik sekelompok orang. Apakah lockdown, semi lockdown, total lockdown, karantina terbatas, atau karantina wilayah kecil ? Apakah masalah kesehatan atau masalah ekonomi yang harus menjadi prioritas penanganan, kalau dipilih salah satu apa dampaknya, kalau harus berjalan beriringan apa konsekuensinya ? Bagaimana pula dengan masalah pengangguran dan dampak yang ditimbulkan ?
    Semua ini adalah persoalan-persoalan yang harus ditangani dan butuh jawaban. Bukankah ini masalah-masalah di luar bidang kesehatan ? Faktanya, pandemi Covid-19 adalah masalah kesehatan yang pada akhirnya memicu munculnya permasalahan-permasalahan sosial. Kegelisahan saya yang pertama adalah : kemana para ilmuwan sosial berada saat masyarakat berada dalam situasi seperti ini ?

FAKTA YANG MENGGELITIK
    Saya tidak hendak membahas persoalan pandemi, masalah-masalah yang ditimbulkan, maupun solusi yang harus dijalankan. Disini saya hanya ingin mereka-reka bagaimana keilmuan sosial akan berkembang dimasa yang akan datang dan apa yang harus dilakukan dengan perkembangan keilmuan sosial terlebih mensikapi era disrupsi sebagai dampak revolusi industri dan komunikasi yang menghasilkan tumbuhnya masyarakat digital.
    Di masa lalu, kita terbiasa memilah ilmu menjadi dua, yakni ilmu sosial dan ilmu alam. Dan uniknya, ilmu alam dianggap lebih elit ketimbang ilmu sosial. Sebutan anak IPA lebih pinter secara akademis dibanding anak IPS, anak IPA lebih saintifik ketimbang anak IPS, bahkan dalam pembagian kelas dibedakan kelas Fisika, Biologi, Sosial, dan Bahasa didasarkan pada nilai akademik, meski ada juga  yang berdasar peminatan. Begitulah ilmu sosial dalam waktu yang sangat panjang dianggap sebagai keilmuan kelas dua.
     Saat ini, dikotomi IPA-IPS ini sudah tidak bisa lagi dilakukan. Ada banyak fakta sosial yang ternyata mengharuskan adanya emerging skill & emerging science or knowledge. Kita ambil saja satu contoh bidang ilmu yang mempelajari perilaku manusia berdasar kinerja otak : Behavioral Neuroscience. Ilmu yang sudah lama berkembang ini  adalah penggabungan dua keilmuan yakni bidang ilmu sosial dan ilmu alam (biologi). Mempelajari  perilaku manusia selama ini dipahami sebagai domain ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, dan psikologi. Sementara neurologi jelas domain keilmuan alam khususnya biologi. Tetapi mempelajari kinerja otak manusia ternyata bisa mengenali pola-pola perilakunya  dan dari pola perilaku manusia yang dikendalikan oleh otak ini seharusnya kita bisa membuat prediksi-prediksi pada setiap fakta sosial yang terjadi di sekitar kita, sekaligus membuat strategi untuk permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi. Di bidang ilmu komunikasi sendiri sudah emerging banyak bidang keilmuan sehingga menghasilkan ilmu-ilmu turunan yang lebih mendekat ke masalah-masalah faktual seperti komunikasi kesehatan (komunikasi terapeutik), komunikasi bencana, komunikasi krisis, komunikasi pariwisata, dan komunikasi kependidikan.
    Ini baru satu contoh saja. Kita bisa bayangkan betapa "menyenangkan" jika penggabungan berbagai keilmuan ini menghasilkan ilmu-ilmu turunan yang lebih mendekati fakta sosial sehingga kolaborasi antar ilmu dan para ilmuwan multidisiplin bisa menjawab persoalan-persoalan di masyarakat secara komprehensif dan secara holistik sehingga kesombongan-kesombongan akademis itu tidak perlu ada. 
    Dan memang seharusnya kesombongan akademis tidak perlu ada. Apalagi jika kita melihat fakta-fakta menggelitik yang kita lihat atau bahkan kita alami sendiri, dimana ilmu-ilmu yang kita dapatkan di bangku kuliah atau bangku sekolah ternyata tidak banyak bermanfaat di tempat kerja karena ternyata lapangan kerja yang dimasuki tidak sesuai dengan kompetensi yang diajarkan di bangku kuliah. Berapa banyak sarjana pertanian yang bekerja sebagai teller bank ? Atau sarjana peternakan yang bekerja sebagai sekretaris, sarjana teknik kimia yang bekerja sebagai staf administrasi, sarjana komunikasi yang bekerja sebagai kasir, dan masih banyak lagi. Faktanya, banyak lulusan sebuah program studi yang bekerja di lapangan kerja yang tidak relevan dengan kompetensi yang dipelajari, akhirnya harus belajar sendiri untuk menyesuaikan dengan tuntutan pekerjaan. Ini kegelisahan saya yang kedua.
    Kegelisahan ketiga berkaitan dengan pembelajaran jarak jauh selama pandemi Covid-19 yang tentu saja mendistorsi konten pembelajaran akibat ketidaksiapan pendidik, peserta didik, hambatan kepemilikan perangkat dan penguasaan teknologi, dan hambatan-hambatan lainnya. Mungkin sebagian orang akan berkata "Lho...Teknologi memungkinkan PJJ berjalan efektif sama seperti tatap muka." Benarkah ? 

PEROMBAKAN KURIKULUM
    Membahas bagaimana peluang Ilmu-Ilmu Sosial dimasa yang akan datang, bisa berangkat dari dua kegelisahan diatas. Pertama soal kontribusi ilmu dan ilmuwan sosial dalam masalah-masalah sosial dan yang kedua soal betapa makin lama lapangan kerja yang tersedia makin hybrid, alias multi-disiplin, lintas disiplin.
    Dilihat dari pengelompokan Ilmu Alam dan Ilmu Sosial berdasar pohon ilmu sebagaimana kita sering diajarkan ketika mulai awal belajar Filsafat Ilmu, sesungguhnya bisa kita rasakan bahwa makin kesini makin tidak relevan dengan situasi saat ini terutama berkaitan dengan kemanfaatan ilmu untuk menjawab persoalan-persoalan aktual dan faktual di masyarakat. 
    Dalam perspektif kompetisi, banyak lahan konservatif lulusan Ilmu Sosial yang sekarang dimasuki oleh lulusan bidang keilmuan non Sosial. Disisi lain, keberadaan lapangan kerja juga makin hybrid dan makin interdisipliner. Lulusan Ilmu Sosial tidak hanya bersaing dengan lulusan bidang ilmu lain, tetapi juga lulusan Ilmu Sosial antar negara, apalagi intervensi teknologi memungkinkan sebuah pekerjaan bisa dilakukan dari jarak jauh. Belum lagi dengan makin pesatnya perkembangan teknologi di berbagai bidang yang memaksa semua lulusan lembaga pendidikan tak hanya bersaing dengan sesama lulusan tetapi juga bersaing dengan Artificial Intelligent, Augmented Reality, juga otomasi digital yang membuka peluang semua pekerjaan bisa digantikan oleh teknologi.

    Bagaimana lembaga pendidikan memandang dan menjawab kehadiran kompetitor-kompetitor ini ?

    Selama ini paradigma belajar di lembaga pendidikan lebih seperti menuang air ke dalam gelas, mengisi gelas dengan air yang berasal dari sebuah kan, banyak sedikitnya tergantung yang menuangkan. Padahal disisi lain, tanggung jawab lembaga pendidikan adalah memajukan dan mencerdaskan bangsa, menghasilkan SDM yang berkualitas dan menguasai IPTEK. Tapi kalimat-kalimat indah ini seringkali hanya kita lihat tertulis di visi misi di buku borang akreditasi, yang tidak selalu (sekali lagi : tidak selalu) linier dengan kualitas lulusan yang dihasilkan. Proses belajar mengajar sendiri lebih cenderung teaching daripada mentoring. Bukan hal yang salah, tapi nampaknya sudah tidak relevan lagi untuk situasi saat ini. Memang tidak sedikit kampus yang sudah mengubah paradigma belajar satu arah, tetapi  secara umum cara-cara lama yang konvensional masih banyak dilakukan.
    Perubahan memang harus segera dilakukan sejalan dengan kecepatan perubahan terutama perkembangan teknologi yang membuat dunia makin disrupted. Hari ini kondisi disrupsi sudah bukan lagi sekedar perubahan radikal dari sebuah kemapanan, melainkan tumbangnya segala sesuatu yang relevan disuatu masa untuk digantikan sesuatu yang benar-benar baru. Jangan sampai lulusan bertemu dengan ilmu dan teknologi baru yang berbeda dengan yang diperoleh selama menjalani proses pembelajaran. Ini tantangan pendidikan saat ini. Harus segera ada perombakan kurikulum yang memungkinkan pencapaian hasil lulusan yang siap dengan berbagai perubahan.
        Capaian Pembelajaran yang ditetapkan setidaknya diarahkan untuk menghasilkan lulusan yang multi-disiplin & memiliki hybrid competence. Ya.. kalau bahasa indahnya menghasilkan  lulusan yang mampu bertahan menghadapi berbagai perubahan, mampu berkembang, mampu mengambil inisiatif, bisa memimpin dan sebagainya sehingga tidak menjadi korban  disrupsi & hyper-competition. Maka pembelajaran sebanyak mungkin dirancang dalam bentuk problem base learning, sementara penguasaan teknologi digital menjadi basic skill yang harus dimiliki selain listening, writing, dan speaking in English dan/atau bahasa asing lainnya. Dalam hal kampus atau lembaga pendidikan tidak bisa menyiapkan materi tertentu sebagaimana yang dibutuhkan, maka peserta didik semestinya diberikan peluang untuk belajar di luar kampus sesuai dengan passion masing-masing. Kalau yang ini mungkin selaras dengan konsep merdeka belajar yang sekarang sedang digaungkan.
    Kembali ke dimana peran ilmu sosial dalam menjawab persoalan-persoalan di masyarakat, lulusan program studi ilmu-ilmu sosial setidaknya juga dibekali dengan kemampuan untuk formulating social problem solution.  Tanpa bermaksud mengabaikan atau tidak memandang penting keilmuan lain, harus diakui persoalan-persoalan masyarakat memerlukan peran besar para ilmuwan bidang sosial. Keilmuan sosial bisa menjadi jembatan bagi berbagai keilmuan lain dalam menjawab persoalan sosial. Sebab di era disrupsi seperti saat ini dimana perkembangan teknologi membuat berbagai perubahan yang terus menerus membuat kita nubyak-nubyak alias gagap, penguasaan ilmu dan teknologi, sinergitas antar berbagai bidang, dan mutual friendship trust berbasis empati akan menjadi satu kekuatan untuk mengendalikan perubahan dan persoalan-persoalan yang muncul sebagai konsekuensi adanya perubahan. 
    Gagasan untuk memunculkan disiplin ilmu baru, SOCIOPRENEUR dan DIGITAL INTELLIGENT adalah gagasan baik yang perlu segera ditindaklanjuti dengan konsep detil yang matang. Cepatlah, perubahan tidak menunggu rumitnya proses birokrasi perombakan kurikulum.

REFERENSI

Schenker, Jason. (2020), The Future After Covid : Futurist Expectations for Changes, Challenges, and Opporunities After the Covid-19 Pandemic, Prestige Professional Publishing, LLC

https://nasional.kompas.com/read/2020/03/03/15330451/selama-23-januari-3-maret-2020-kominfo-deteksi-147-hoaks-soal-virus-corona

https://nasional.kompas.com/read/2020/09/05/09090921/6-bulan-pandemi-covid-19-hoaks-dan-teori-konspirasi-yang-memperparah?page=all

















Jumat, 16 Oktober 2020

THE NEW NORMAL : INTERNALISASI KEBIASAAN BARU ERA PANDEMI COVID-19

Suatu ketika sebuah Wabah berbincang dengan seorang Kafilah di padang gurun Damaskus :

    "Mau kemana kau, Wabah ?" tanya seorang Kafilah

    "Mau ke Damaskus, mau merenggut seribu nyawa," jawan si Wabah tanpa ragu

Sekembalinya dari Damaskus, Wabah bertemu kembali dengan Kafilah. Si Kafilah pun protes :

    "Hai Wabah, kau merenggut lima puluh ribu nyawa, bukan seribu seperti katamu."

    "Tidak," ujar Wabah. "Aku betul-betul hanya mengambil seribu nyawa. Sisanya mati karena ketakutan."

(Anthony de Mello)


    Tahun 2020 bisa jadi adalah tahun yang melahirkan banyak kenangan bagi seluruh penjuru dunia.  Bisa jadi tahun ini adalah tahun yang menorehkan sejarah yang menarik yang tak akan habis untuk diceritakan ke generasi yang akan datang. Kehadiran pandemi Covid-19 telah membuat kalang kabut hampir seluruh penduduk dunia, termasuk di Indonesia. Tidak lama setelah ditemukan kasus pertama pada 2 Maret 2020, pemerintah RI segera mengeluarkan kebijakan pembatasan berskala besar, yang membuat masyarakat mau tidak mau harus berhenti atau mengurangi aktivitas di luar rumah.

    Istilah lockdown, stay at home, work from home, learn from home, karantina, ODP (Orang Dalam Pantauan), PDP  (Pasien Dalam Pantauan), OTG (Orang Tanpa Gejala), ODG (Orang Dengan Gejala), rapid test, social distancing, dan sebagainya mendadak begitu familiar didengar dan diucapkan. Masyarakat "dipaksa"  menjalani kehidupan diluar kebiasaan : mengerjakan segala sesuatu di rumah saja. Bekerja di rumah secara online, belajar di rumah secara online, belanja barang maupun makanan dan minuman juga cukup dari rumah secara online  adalah #TheNewNormal yang "dipaksakan" menjadi suatu kondisi yang dianggap normal selama masa pembatasan sosial. Kini saat pandemi sudah relatif  terkendali dan masyarakat mulai kembali beraktivitas seperti sebelum ada pandemi, ada lagi #TheNewNormal yang harus dijalankan masyarakat : protokol kesehatan di area publik yakni dengan menggunakan alat pelindung diri seperti masker dan faceshield, rajin mencuci tangan dengan sabun di air mengalir, dan selalu menggunakan handsanitizer. 


EMPATI DAN KOMUNIKASI EMPATI

    Istilah simpati, empati, dan antipati saat ini sedang rajin melintas di telinga dan mata kita, entah dari obrolan dengan teman, di media massa umum, atau di media sosial. Perdana Menteri New Zealand Jacinda Ardern dinilai sukses menangani pandemi Covid-19 di negaranya, salah satunya karena kemampuannya  untuk melakukan komunikasi empati kepada rakyat New Zealand (https://ryawiedy.blogspot.com/2020/10/perempuan-perempuan-tangguh-ditengah-covid19.html). Komunikasi  empati berkaitan dengan kemampuan komunikator untuk menyampaikan pesan secara tepat dengan menempatkan diri seolah-olah berada dalam posisi orang lain, melibatkan diri dalam persoalan yang sama dengan yang dihadapi oleh orang lain.

    Sebenarnya apa yang dimaksud dengan empati ? Empati adalah kemampuan untuk memahami perasaan dan masalah orang lain, berpikir dengan sudut pandang mereka, serta menghargai perbedaan perasaan orang lain tentang berbagai hal. Secara sederhana, empati dapat diartikan sebagai  kemampuan orang untuk melakukan identifikasi dan memahami perasaan, pikiran, dan sikap orang lain dengan cara seolah-olah mengalami sendiri apa yang dialami oleh orang lain. Dalam perspektif beberapa keilmuan, empati dibedakan menjadi : (1) Empati afektif atau yang juga sering disebut empati emosional, yakni kemampuan seseorang berbagi dan merasakan emosi orang lain, (2) Empati kognitif, yakni kemampuan memahami emosi orang lain tanpa terlibat dengan atau berbagi emosi (biasanya dilakukan psikolog), dan (3) Empati regulatif, yakni kemampuan mengendalikan emosi agar tidak terlibat dalam emosi orang lain. 

    Komunikasi empati merujuk pada bagaimana seorang komunikator memposisikan diri pada apa yang dialami oleh orang lain, dengan mengidentifikasi diri dalam perasaan, pikiran, dan perilaku  orang lain. Dalam melakukan komunikasi empati, seseorang harus melepaskan diri dari kepentingan-kepentingan, ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain, sekaligus memiliki skill untuk memilih kata-kata dan moment yang tepat untuk menyampaikan pesan. Pendek kata, diperlukan  kepekaan terhadap berbagai aspek yang ada pada posisi orang lain dalam melakukan komunikasi empati.

    Jika kita tarik dalam situasi pandemi di Indonesia, nampaknya banyak elit dan pejabat berwenang  yang harus belajar bagaimana berkomunikasi dengan mengedepankan empati. Sejak awal pandemi, kita melihat carut-marut komunikasi justru dipertontonkan oleh pihak-pihak yang seharusnya menjadi sumber informasi pertama bagi masyarakat : pemerintah.  Mulai dari kurangnya keterbukaan, kontroversi informasi antar pejabat dan lembaga pemerintah, tidak adanya narasi yang disepakati bersama sebagai visi dalam menghadapi situasi krisis akibat pandemi, bahkan berbagai istilah terkait situasi pandemi yang berubah-ubah, multi tafsir, dan memicu perdebatan di ranah publik. Hal ini diperburuk dengan ulah sebagian kelompok masyarakat yang membuat keriuhan informasi diwarnai hoaks dan kuatnya nuansa politik memanfaatkan situasi pandemi. 

    Di masa krisis seperti saat ini, kekuatan komunikasi empati sangat perlu dilakukan oleh berbagai pihak baik pemerintah, oposisi, maupun berbagai elemen masyarakat. Sesungguhnya di awal-awal datangnya pandemi, kita sebagai bangsa Indonesia semestinya berbangga  dengan menguatnya semangat gotong royong dimana tanpa komando aksi-aksi simpatik filantropi muncul dimana-mana. Sayang sekali  hiruk pikuk komunikasi seolah menutup keindahan suasana kebersamaan dan gotong royong, seolah begitu sulit berbicara dalam koridor empati. Pemerintah yang seolah  tidak peka terhadap kebutuhan informasi masyarakat, masyarakat yang tidak sabar dan tidak peka terhadap kesulitasn yang dihadapi pemerintah, dan oposisi yang terus menerus meramaikan panggung  politik dengan narasi-narasi antipati yang membuat penanganan pandemi menjadi terasa berat dan tanpa arah.

    Banyak persoalan di masyarakat yang bermuara  pada kegagalan komunikasi. Filsuf Martin Buber punya gambaran menarik tentang hal ini : "Kita bis amenemukan Tuhan melalui nteraksi dengan orang lain." Aspek penting  dalam interaksi menurut Buber adalah dialog dan komunikasi dilakukan untuk membentuk komunitas dimanadalam sebuah komunitas individu-individu  saling bekerja sama didasarkan pada kesadaran bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain.

    Dalam perspektif komunikasi, pernyataan Buber ini bisa dimaknai  bahwa solusi atas persoalan-persoalan di masyarakat bisa kita selesaian jika kita berdialog. Dalam dialog komunikasi berlangsung dua arah dimana posisi masing-masing partisipan setara dan bukan sebagai obyek melainkan sebagai subyek dalam persoalan itu. Dengan demikian komunikasi yang baik dan efektif bisa dicapai dengan mudah karena masuknya berbagai perspektif dan pendapat yang mewakili banyak pihak.

    Komunikasi empati bisa dicapai apabila komunikator bisa mendengar pendapat orang lain, menerima sudut pandang orang lain, serta peka terhadap apa yang dirasakan dan dialami oleh orang lain. Disinilah empati dan komunikasi empati memunculkan sisi humanisnya, dan diyakini memiliki daya persuasif yang lebih baik ketimbang bentuk komunikasi lain yang bersifat instruktif atau bahkan represif.

  

 JURU BICARA DAN KOMUNIKASI PERSUASI

    Pandemi adalah masalah dan tanggung jawab bersama, maka konsep komunikasi  semestinya diarahkan pada penguatan kohesi sosial dan komunikasi positif yang mendorong adanya satu narasi bersama untuk melawan pandemi sehingga presentasi masyarakat kita akan lebih mengedepankan empati, perilaku gotong royong, saling bersinergi, dan semangat membangun solidaritas antar sesama. Dengan demikian diharapkan ada kesadaran bersama bahwa penanganan pandemi Covid-19 bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat saja, atau kepala daerah saja, atau masalah kesehatan saja. Jangn lupa, pandemi ini secara keseluruhan bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga masalah ekonomi, politik, sosial, budaya, bahkan pertahanan adan keamanan juga.

    Memilih dr. Reisa Subroto sebagai juru bicara untuk mengkomunikasikan informasi dari pemerintah, tentu mempertimbangkan berbagai hal salah satunya keterampilan berkomunikasi, untuk memperbaiki praktik komunikasi krisis saat ini. Selain membawa perbaikan dalam kondisi psikologis masyarakat, diharapkan juga membawa pesan-pesan empati yang bisa menggerakkan kesadaran masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan.  

    Membangun kesadaran kolektif dan  mengembalikan public trust terhadap pemerintah memang tidak mudah. Kita ingat di masa awal pandemi terjadi di Indonesia, hyperreality media telah menciptakan kepanikan  bagi sebagian besar masyarakat. Riuh informasi di ruang-ruang publik telah menambah bias informasi, meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan, para pakar, maupun semua narasi yang dibangun pemerintah. Kondisi ini  harus dipahami oleh seorang juru bicara sehingga pesan-pesan komunikasi harus jelas dan lugas. 

    Mengapa harus jelas dan lugas ? Pertama, segala bentuk kecemasan dan kepanikan yang terjadi dalam diri seseorang umumnya disebabkan oleh kondisi ketidakpastian yang disebabkan kurangnya informasi. The uncertainty reduction theory menjelaskan bagaimana seseorang akan mencari informasi untuk mengurangi ketidakpastian, mencari kejelasan dan informasi-informasi yang meyakinkan. Disisi lain, umumnya orang mencari informasi hanya yang memperkuat apa yang diyakini benar. Sementara disisi lain, deras arus informasi justru memicu munculnya berbagai imajinasi liar sehingga pengetahuan masyarakat awam bisa menjadi makin bias. 

    Kedua,  hyperreality media diproduksi massal baik di media massa umum konvensional maupun di media sosial, tidak jelas pakah informasi-informasi yang diproduksi berbasis sains atau berbasis ilmu tafsir dan cocokologi. Belum lagi broadcast-broadcast yang edar super cepat melalui WA group  menambah carut marut informasi akibat bias konfirmasi. Disini peran juru bicara diperlukan. 

    Mengapa ? Diawal pandemi, informasi edukatif penting agar masyarakat mengetahui karakter virus, cara penularan dan cara menghindari penularan, gejala terinfeksi, dan apa yang harus dilakukan jika mengalami gejala terinfeksi. Sayangnya pada fase awal munculnya kasus Covid-19 di Indonesia pemerintah tidak siap dengan informasi-informasi edukatif tentang hal ini sehingga memberi peluang munculnya  simpang siur informasi termasuk menjamurnya info-info hoaks. Itu sebabnya diperlukan juru bicara selaku komunikator yang memiliki kredibilitas untuk menyampaikan pesan, terampil memilih narasi yang tepat agar tidak menghasilkan respons negatif dari masyarakat yang dalam teori respons kognitif Belch (2003) disebut sebagai counter argument dan jika dimanifestasikan dalam bentuk perilaku akan muncul dalam bentuk distrust dan tindakan "ngeyel".

    Respons kognitif merupakan salah satu komponen pembentuk sikap yang dikonseptualisasikan sebagai pengetahuan faktual seseorang mengenai sesuatu. Komponen-komponen ini kemudian membentuk cognitive schemata yang memandu proses-proses informasi berkaitan dengan perhatian, interpretasi, dan pembentukan kembali stimulus (respons). Secara sederhana, respons kognitif merujuk pada munculnya pemikiran-pemikiran dalam diri seseorang akibat terekspos informasi, beragam pemikiran yang terjadi pada penerima pesan ketika membaca, melihat, dan/atau mendengar pesan-pesan komunikasi. Pemikiran-pemikiran ini sejatinya mencerminkan proses kognitif atau reaksi penerima pesan sekaligus membantu penerima pesan untuk membentuk sikap menerima atau menolak pesan komunikasi (Belch & Belch, 2003)

    Melihat kondisi masyarakat yang semakin kritis dan  dengan mempertimbangkan gap kognitif diantara kelompok-kelompok masyarakat, perlu disadari bahwa pesan yang dismapaikan seorang juru bicara berpeluang direspons oleh masyarakat baik dalam bentuk respons positif maupun respons negatif. Inilah tuntutan yang harus dipenuhi juru bicara untuk menghadirkan narasi-narasi yang proporsional sesuai maksud dan tujuan komunikasi. 

    Memang tidak sedikit anggota masyarakat yang berusaha berbagi pengetahuan mengenai Covid-19, menyebarkan informasi-informasi dari negara lain sehingga sesungguhnya masyarakat tidak sungguh-sungguh buta menghadapi pandemi ini. Tetapi harus disadari spektrum heterogenitas masyarakat sangat lebar : tingkat pengetahuan tidak merata, kesempatan akses informasi berbeda, dan berbagai aspek lain yang membuat pemahaman mengenai Covid-19 ini juga berbeda. Apalagi informasi-informasi berbasis sains ini juga berbaur dengan ilmu tafsir, hoaks, dan berbagai simplifikasi. Tetapi patut disyukuri seiring berjalannya waktu pengetahuan umum semakin bertambah, peran masyarakat untuk berbagi informasi semakin besar, situasi pandemi semakin bisa dikendalikan, edukasi protokol kesehatan juga sudah banyak membawa hasil, dan kini tinggal edukasi intensif untuk kembali beraktifitas normal dengan situasi normal baru.

    Kebiasaan baru merupakan bagian dari proses internalisasi budaya baru atau enkulturasi, proses adaptasi, dan kelak menjadi hal yang melekat dalam keseharian kita. Dan komuniasi adalah aktivitas yang membawa proses sosial sehingga menghasilkan sebuah perubahan. Sebagai makhluk berakal budi,  manusia memiliki kesadaran untuk beradaptasi melalui proses saling belajar dan saling menirukan dengan manusia lain yang menganut nilai-nilai yang sama. Dalam beradaptasi dengan kenormalan baru ini, kita bisa mengadopsi proses enkulturasi budaya yang dialami manusia sejak lahir. Enkulturasi terjadi melalui proses identifikasi dan internalisasi lambang-lambang atau simbol-simbol budaya yang ada di sekitar kita. Proses belajar melalui peniruan ini membuat manusia bisa saling menyesuaikan perilaku sehingga terbentuk pola perilaku yang kelak akan menjadi sebuah budaya atau kebiasaan. 

    Jika ditarik dalam konteks saat ini, ada banyak kenormalan baru yang "terpaksa" dipelajari, diadaptasi, dan diadopsi oleh masyarakat. Dari yang sederhana saja, menggunakan pelindung diri seperti mengenakan masker dan faceshield ketika berada di area publik yang sebelum terjadi pandemi bukan sesuatu yang lazim dilakukan, kini harus "dilazimkan".  Kebiasaan antri, menjaga jarak, dan perilaku hidup bersih yang sebelum pandemi hanya sebatas kampanye, kini menjadi sesuatu kewajiban yang mungkin kelak akan menjadi kebutuhan atau norma baru di area publik.

    Demikian juga dalam hal penguasaan teknologi terutama yang menunjang aktivitas kerja di rumah (work from home) dan pembelajaran online yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan, kini seperti "dipaksakan" untuk dikuasai. Dan masih banyak lagi kebiasaan-kebiasaan baru yang memerlukan pembiasaan melalui latihan dan edukasi sehingga  pada saatnya nanti akan benar-benar menjadi bagian integral dalam kehidupan sehari-hari.

    Pembiasaan untuk melakukan banyak kebiasaan baru dalam kenormalan baru ini perlu disepakati dalam satu narasi yang sama dan dilakukan secara bersama-sama sehingga benar-benar efektif untuk bisa berdamai hidup bersama dengan Covid-19. Ada 3 hal yang perlu terus dikembangkan dalam beradaptasi dengan norma baru ini yakni : (a) penguasaan teknologi dan kepercayaan terhadap sains, (b) sinergitas antar pemangku kepentingan, dan (c) solidaritas sosial. Penguasaan teknologi diperlukan sebagai bentuk adaptasi baru untuk mempermudah aktivitas tanpa kehilangan produktivitas ketika ruang gerak harus terbatas, kepercayan kepada sains sebagai dasar pengetahuan utama berkaitan dengan penanganan Covid-19, sinergitas antar pemangku kepentingan untuk mendukung satu narasi yang sama berperang melawan pandemi, dan solidaritas sosial diperlukan agar antar anggota masyarakat saling menjaga dan mendukung langkah-langkah pencegahan  penularan Covid-19 termasuk kepatuhan terhadap protokol kesehatan.

    Pilar utama kehidupan sosial adalah empati, dimana masing-masing individu diikat oleh nilai-nilai yang sama atau ikatan emosional antar individu sehingga bisa saling bekerjasama. Sebagaimana telah disampaikan, empati adalah bagaimana memposisikan diri kita pada pengalaman dan emosi orang lain, demikian juga empati dimasa pandemi. Setiap orang diharapkan memiliki sikap empati kepada orang lain sehingga upaya membangun dan mempertahankan narasi yang sama untuk melawan Covid-19 ini menjadi sesuatu yang tidak sulit dilakukan.

    Empati menjadikan seseorang peduli tidak hanya pada diri sendiri tetapi juga terhadap orang-orang disekitarnya. Maka tagline "Protect Yourself to Protect Others semestinya tidak lagi menjadi materi kampanye atau sebuah instruksi, melainkan menjadi kesadaran bersama. Empati bisa ditumbuhkan melalui proses latihan dan saat ini adalah saat yang baik untuk kita berlatih mengasah empati. Meski banyak ahli berpendapat empati diperoleh dari belajar yang prosesnya dimulai sedini mungkin, tetapi tidak ada kata terlambat untuk sebuah kemauan belajar. Bangsa besar ini memang harus banyak belajar.

(Tulisan ini bagian dari buku Diskursus Covid-19 Dalam Perspektif Komunikasi, MBridge Press Yogyakarta, 2020, ISBN : 978-623-6615-04-1)

REFERENSI

Belch, George E., & Belch, Michael A., (2003), Advertising and Promotion : An Integrated Marketing Communication Perspective, 6th Ed., The McGraw Hills Companies

Buber, M., (2004), Between Man and Man, Penterjemah :Ronald Gregor Smith, London & NY : The Taylor & Francise e-Library

Mello, P.A., (1997), The Heart of The Enlightened : A Book of Story Meditation, Glasgow : Fount  Paperbacks


    





Rabu, 14 Oktober 2020

PEREMPUAN-PEREMPUAN TANGGUH DITENGAH COVID-19

PEREMPUAN-PEREMPUAN TANGGUH DITENGAH COVID-19

    Pandemi Covid-19 bisa jadi merupakan  ujian besar bagi para pemimpin politik di dunia. Setidaknya lebih dari 3 juta kasus terjadi di 185 negara di dunia sehingga bisa dikatakan hampir semua pemimpin di planet bumi sedang menghadapi potensi ancaman yang sama. Saat tulisan ini dibuat pada Mei 2020, tercatat hanya ada 15 negara yang dilaporkan belum terkena wabah virus yang pertama kali menyebar di kota Wuhan provinsi Hubei China, Desember 2019.
    Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mendeklarasikan pandemi Covid-19 sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020. Meski tak ingin menyebut  kalimat "tak ada negara yang siap menghadapi pandemi" ini sebagai kata permakluman atau permohonan maaf untuk diri sendiri, tetapi memang harus diakui munculnya virus Corona  yang konon merupakan varian baru yang kini dinamai Covid-19 ini memang benar-benar mengguncang dunia. Negara-negara besar dengan peradaban dan teknologi maju seperti China, Jepang, bahkan Amerika Serikat tak luput dari serangan virus ini.
    Setiap pemimpin menanggapi dengan cara yang berbeda, berdasar pada gaya kepemimpinan mereka sendiri-sendiri. Dan tentu saja penilaian berhasil atau tidaknya kinerja seorang pemimpin akan dilihat berdasar hasil akhir yang dicapai. Dalam kasus pandemi Covid-19 ini tentu saja keberhasilan dinilai dari kecilnya angka terinfeksi dan angka kematian, dan juga efektivitas lockdown atau pembatasan wilayah yang ditunjukkan melalui kepatuhan masyarakat sebagai indidkator public trust kepada pemerintah. 
    Menarik untuk melihat gaya kepemimpinan politik di negara-negara di dunia ini ketika menghadapi persoalan yang sama. Banyak variabel yang membedakan seperti karakter dasar atau personality pemimpin, kondisi wilayah dan situasi negara masing-masing, maupun karakter masyarakatnya.
    Perlu disadari bahwa masalah pandemi Covid-19 ini bukan hanya persoalan kesehatan tetapi juga masalah ekonomi, politik, spsial-budaya, bahkan pertahanan dan keamanan. Oleh karena itu ukuran keberhasilan  pemimpin negara dalam memahami pandemi ini tentu menyangkut semua aspek tersebut sehingga langkah-langkah yang dilakukan merupakan langkah yang komprehensif, terukur, dan efektif.
    
PEREMPUAN-PEREMPUAN TANGGUH ITU

    Perdana menteri Selandia Baru Jacinda Ardern adalah salah satu pemimpin perempuan yang dinilai berhasil mengendalikan pandemi di negaranya. Melalui komunikasi empati, Ardern mengajak rakyat Selandia Baru bersama-sama menghadapi pandemi dengan satu narasi yang sama : Stay At Home alias lockdown. Pesan-pesan komunikatif dirancang sehingga tidak hanya mudah dipahami tetapi juga menimbulkan motivasi untuk mengikuti arahan. Sikapnya tegas, kebijakan yang ditetapkan sangat ketat, tetapi cara penyampian pesannya banyak menuai pujian.
  Kisah keberhasilan menangani pandemi Covid-19 juga terjadi di Taiwan, dibawah kepemimpinan presiden Tsai Ing-wen. Jauh sebelum pandemi meluas, Ing-wen segera menutup akses keluar masuk orang terutama dari negar-negara yang merupakan wilayah pandemi. Tak hanya menutup akses masuk ke negara Taiwan, Ing-wen juga membentuk pusat pengendalian epidemi dan membuat skema tracing untuk melacak dan menghambat penyebaran virus Covid-19. Bahkan Ing-wen memerintahkan produksi APD secara massal serta menerapkan social distancing secara ketat. Gerak cepat dan manajemen pencegahan  yang dilakukan Ing-wen berlangsung sangat efektif didukung oleh kepatuhan rakyat Taiwan yang meskipun individualis tetapi memiliki tanggung jawab sosial yang tinggi.
    Di Jerman, kanselir Angela Markel mendasarkan keputusan-keputusannya dalam menangani pandemi Covid-19 ini pada science. Secara terbuka dan apa adanya Markel menyampaikan kepada rakyat Jerman bahwa mereka tengah menghadapi situasi berat wabah Covid-19 sehingga perlu dilakukan pencegahan seperti pembatasan, test swab, pelacakan (tracing) dan isolasi mandiri besar-besaran setelah kasus pertama ditemukan di Bavaria pada Januari 2020. 
  Sama dengan Markel, Perdana Menteri Norwegia Erna Solberg juga mendasarkan kebijakan penanganan pandemi pada science yang langsung menerapkan lockdown dan menutup sekolah-sekolah dan semua fasilitas umum sejak kasus pertamam ditemukan di Norwegia. Demikian juga Perdana Menteri Finlandia Sanna Marin yang langsung secara tegas menerapkan total lockdown dan melarang semua perjalanan keluar masuk wilayah Helsinki. Lain lagi dengan pemimpin Islandia Katrín Jakobsdòttir yang bisa mengendalikan Covid-19 tanpa lockdown dan tidak menutup sekolah-sekolah maupun fasilitas umum lainnya. Ia hanya melakukan  tracing  dan test swab secara massal.
    Di Korea Selatan, Kepala Pusat Pengendalian Penyakit Nasional, dokter Jeong Eun Kyeong menjadi viral setelah menginisiasi swab test secara massal dan tracing kontak pasien untuk mengetahui pergerakan virus. Belajar dari kasus MERS yang menempatkan Korea Selatan sebagai negara dengan korban tertinggi kedua setelah Arab Saudi pada tahun 2015, yakni dengan menjalankan drive thru screening clinics, penggunaan ICT dalam aplikasi Special Immigration Procedure (SIP) yang ditempatkan di pintu masuk bandara, dan life treatment centre sebagai pusat perawatan pasien dengan gejala ringan. Jeung menginisisasi swab test secara massal dan melacak kontak  pasien untuk mengetahui pergerakan virus.
 
KEPEMIMPINAN PEREMPUAN

     Banyak orang meragukan kepemimpinan perempuan karena mereka dianggap tidak sekuat dan setegas laki-laki dalam mengambil keputusan. Tantangan kepepmimpinan perempuan berbeda dengan laki-laki. Berbagai riset dan survey yang menunjukkan perempuan harus berjuang keras sebagai pemimpin agar dianggap setara dengan laki-laki, yaitu dengan lebih menunjukkan integritas, kompetensi, dan kepemimpinan.
    Dokter Louann Brizendinn (2006), seorang neuro-psikiatri dari University of California, menyatakan hal yang membedakan perilaku perempuan dan laki-laki adalah otak. Otak perempuan pula yang mempengaruhi fungsi kecerdasan, perkembangan emosi, karir profesional maupun naluri melahirkan dan mengasuh keturunan. Otak perempuan memiliki berbagai kemampuan unik seperti keteramilan verbal, menjalin relationship, membaca wajah dan nada suara, mengenali emosi dan keadaan pikiran orang lain, dan memiliki kemampuan untuk meredakan konflik. Semua itu adalah bakat-bakat yang sudah dibawa sejak lahir, hal yang tidak dimiliki oleh otak laki-laki dimana laki0laki memiliki bakat-bakat lain yang dibentuk oleh realitas hormon mereka (Brezendin, 2006)
    Dalam sejarah evolusi manusia, sejak masa perburuan perempuan dikondisikan berhadapan dengan tugas-tugas demosetik berkaitan dengan fungsi reproduksi sehingga merawat, menjaga generasi, dan mengurus pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan kelangsungan hidup terus berkembang sejalan dengan perkembangan otak perempuan. Dibanding  spesies lain, manusia  lahir dalam kondisi tak berdaya, bergantung selama bertahun-tahun kepada orang lain untuk bertahan, berlindung, dan memperoleh pengetahuan (pendidikan).  Fakta ini memberi kontribusi besar bagi kemampuan sosial manusia dan problem-problem sosialnya, dimana perempuan yang bertugas membesarkan anak-anak terus menerus memerlukan bantuan orang lain. Dengan demikian, evolusi mengajarkan otak perempuan untuk mampu membentuk ikatan-ikatan sosial yang kokoh. Demikianlah perempuan identik dengan sifat keibuan, naluri melindungi, lebih mengedepankan empati, dan mudah bekerjasama dengan orang lain.
    Dalam  konteks kepemimpinan sebenarnya tidak ada perbedaan mendasar dalam gaya kepemimpinan antara laki-laki dan perempuan. Namun sesuai karakter yang melekat dalam diri seseorang, karakter kepemimpinan perempuan umumnya lebih mengedepankan empati dan mudah berkolaburasi dibanding para laki-laki yang cenderung mengedepankan kompetisi.
    Dalam menjalankan peran sebagai pemimpin, perempuan lebih banyak menggunakan pendekatan keluarga. Banyak keputusan-keputusan yang menyentuh setiap segmen masyarakat, karena sebagai perempuan memiliki pengalaman dalam mengelola rumah tangga, merawat dan mengasuh anak-anak sehingga perspektif keputusan didasarkan pada pengalaman tersebut. Maka tidak mengherankan jika dalam menghadapi pandemi Covid-19 para oemimpin perempuan bisa bertindak lebih cepat, detil, dan menyentuh hingga bagian terdekat dengan realitas kehidupan  dan kebutuhan masyarakat sehari-hari. Mereka menggunakan bahasa yang sederhana, mudah dimengerti, dan lebih mengedepankan empati serta kerjasama. Begitulah, naluri perempuan bekerja sangat baik meski dalam perkara besar sekalipun.

KOMUNIKASI RESTORATIF

    Respons terhadap krisis Covid-19 sangat beragam karena setiap negara memiliki realitas sosial-ekonomi dan ketersediaan sumber daya yang berbeda. Tentu saja hal ini mempengaruhi pengambilan keputusan-keputusan sulit ditengah ketidakpastian gelombang pandemi. Salh satu diantaranya adalah resiko berhentinya roda perekonomian di awal pandemi  apabila harus memilih lockdown untuk menghambat penyebaran pandemi.  Tentu ini bukanpilihan mudah dan bukan merupakan kebijakan populis dan berisiko menimbulkan penolakan dari masyarakat. Terlepas dari negara-negara dalam contoh-contoh diatas adalah negara ekonomi maju dengan sistem penunjang kesejahteraan dan sistem kesehatan yang kuat untuk menghadapi kondisi darurat, ada kesamaan kebijakan yang dilakukan oleh para pemimpin perempuan : mereka merespons krisis pandemi Covid-19 ini dengan baik.
    Hal menarik yang juga layak menjadi perhatian  adalah gaya berkomunikasi para pemimpin perempuan dalam menghadapi pandemi Covid-19. para pemimpin perempuan ini justru mendapat dukungan publik ketika mereka berbicara secara transparan dan terbuka mengenai tantangan yang harus mereka hadapi dalam berperang melawan pandemi. Melihat bagaimana mereka menyampaikan informasi, mengambil keputusan, dan mendapat dukungan masyarakat nampak jelas bahwa para pemimpin perempuan ini adalah komunikator yang sangat baik.
    Dan gaya komunikasi restoratif dipilih sesuai karakter seorang perempuan yang memiliki tanggung jawab untuk melindungi dan memperhatikan keluarga sekaligus menghargai orang-orang yang ada di dalam keluarganya. Gaya komunikasi ini menggabungkan komunikasi strategis dan komunikasi humanis. Komunikasi strategis berkaitan dengan mengkomunikasikan langkah-langkah kebijakan yang dilakukan untuk mengantisipasi dampak krisis, memberi semangat untuk  bisa melewati krisis bersama-sama, dan mengembalikan rasa aman pada masyarakat.
    Sementara komunikasi humanis berfokus pada hal-hal yang menyentuh kebutuhan mendasar masyarakat seperti makanan, kebersihan, dan kesehatan. Informasi-informasi yang dikemas dengan mengedepankan penyadaran bahwa masalah krisis adalah masalah bersama dan harus dihadapi dengan bekerjasama antara masyarakat dan pemerintah, dan pemerintah lebih mengutamakan kepentingan dan keselamatan warganya. Disinilah komunikator menempatkan audiens dalam posisi partisipator utama sehingga mereka merasa dihargai.
    Sebuah proses komunikasi disebut efektif apabila mudah dipahami, mampu menimbulkan perubahan sikap, dan menghasilkan  efek sesuai yang diharapkan komunikator. Ada derajat akurasi yang tinggi yang dicapai oleh komunikator dan komunikan sehingga antara kedua pihak ini berada dalam satu frekuensi. Menilik pada komponen-komponen komunikasi  yang meliputi komunikator, pesan, media, komunikan, dan efek komunikasi, maka komunikasi efektif akan terjadi apabila antara komunikator dan komunikan memiliki kesamaan pemahaman, keinginan, dan tujuan sesuai maksud yang terkandung dalam isi pesan dan menggunakan media yang bisa menjangkau komunikan dengan cara yang paling tepat sasaran.
    Dari para pemimpin perempuan ini kita bisa melihat setidaknya ada 3 hal yang menjadi kunci keberhasilan komunikasi yang mereka lakukan, yakni : (a) komunikasi bersifat arahan, (b) komunikasi yang bersifat memberi pemahaman, dan (c) komunikasi yang  bersifat empati  yang terbungkus dalam gaya komunikasi restoratif. Kualifikasi pemimpin efektif  yang nampak dalam gaya komunikasi restoratif ini dapat menumbuhkan kepercayaan, penuh welas asih, berorientasi pada stabilitas dan harapan di situasi krisis sehingga menumbuhkan kepercayaan masyarakat.


Referensi :
Brizendin, L., (2006), The Female Brain, 3rd Ed., Jakarta : Phoenix Publishing Project

Coombs, W. Timoty & Sherry J. Holladay., (2010), The Handbook of Crisis Communication, United Kingdom : Blackwell Publishing Ltd.

Goleman, D. (2010), Working with Emotional Intelligence, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Indonesia

Brenan, Bridget., (2020), How Angela Markel's Science Background Gives Her an Edge Against Coronavirus in Germany,abc.net, 3 Mei 2020, https://amp.abc.net.au/article/12200494? twitter impression=true, diakses 3 Mei 2020

Champbell, Charlie, (2020), South Korea's Minister on How His Country is Beating Corona Virus Without Lockdown, Time.com, 30 April 2020, https://time.com/5839594/south-korea-covid19-coronavirus/?utm_source=teitter&utm_medium=social&utm_campaign=editorial&utm_term=worldcovid-19&linkId=87715189, diakses 30 April 2020

Jabeer, Jumana, (2020), Taiwan Sets An Example for The World on How to Respond to A Future Pandemic, thediplomaticaffairs.com, 2 Mei 2020, https://www.thediplomaticaffairs.com/2020/05/02/taiwan-covid-19/, diakses 2 Mei 2020

Wasito, Bram.A., (2020), Tiga Alasan Mengapa Respons PM Jacinda Ardern terhadap Coronavirus adalah Teladan Kepemimpinan di Tengah Krisis, theconversation.com, 16 April 2020, https//:theconversation.com/tiga-alasan-mengapa-respons-pm-jacinda=ardern-terhadap-coronavirus-adalah-teladan-kepemimpinan-di-tengah-krisi-136501, diakses 30 April 2020

        






















SEKOLAHKU ADA DI TUMPUKAN BUKU

  "A wealth of information creates a poverty of attention" Herbert A. Simon ~ Pemenang Hadiah Nobel di bidang Ekonomi, 1978 Sudah ...