PEREMPUAN-PEREMPUAN TANGGUH DITENGAH COVID-19
Pandemi Covid-19 bisa jadi merupakan ujian besar bagi para pemimpin politik di dunia. Setidaknya lebih dari 3 juta kasus terjadi di 185 negara di dunia sehingga bisa dikatakan hampir semua pemimpin di planet bumi sedang menghadapi potensi ancaman yang sama. Saat tulisan ini dibuat pada Mei 2020, tercatat hanya ada 15 negara yang dilaporkan belum terkena wabah virus yang pertama kali menyebar di kota Wuhan provinsi Hubei China, Desember 2019.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mendeklarasikan pandemi Covid-19 sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020. Meski tak ingin menyebut kalimat "tak ada negara yang siap menghadapi pandemi" ini sebagai kata permakluman atau permohonan maaf untuk diri sendiri, tetapi memang harus diakui munculnya virus Corona yang konon merupakan varian baru yang kini dinamai Covid-19 ini memang benar-benar mengguncang dunia. Negara-negara besar dengan peradaban dan teknologi maju seperti China, Jepang, bahkan Amerika Serikat tak luput dari serangan virus ini.
Setiap pemimpin menanggapi dengan cara yang berbeda, berdasar pada gaya kepemimpinan mereka sendiri-sendiri. Dan tentu saja penilaian berhasil atau tidaknya kinerja seorang pemimpin akan dilihat berdasar hasil akhir yang dicapai. Dalam kasus pandemi Covid-19 ini tentu saja keberhasilan dinilai dari kecilnya angka terinfeksi dan angka kematian, dan juga efektivitas lockdown atau pembatasan wilayah yang ditunjukkan melalui kepatuhan masyarakat sebagai indidkator public trust kepada pemerintah.
Menarik untuk melihat gaya kepemimpinan politik di negara-negara di dunia ini ketika menghadapi persoalan yang sama. Banyak variabel yang membedakan seperti karakter dasar atau personality pemimpin, kondisi wilayah dan situasi negara masing-masing, maupun karakter masyarakatnya.
Perlu disadari bahwa masalah pandemi Covid-19 ini bukan hanya persoalan kesehatan tetapi juga masalah ekonomi, politik, spsial-budaya, bahkan pertahanan dan keamanan. Oleh karena itu ukuran keberhasilan pemimpin negara dalam memahami pandemi ini tentu menyangkut semua aspek tersebut sehingga langkah-langkah yang dilakukan merupakan langkah yang komprehensif, terukur, dan efektif.
PEREMPUAN-PEREMPUAN TANGGUH ITU
Perdana menteri Selandia Baru Jacinda Ardern adalah salah satu pemimpin perempuan yang dinilai berhasil mengendalikan pandemi di negaranya. Melalui komunikasi empati, Ardern mengajak rakyat Selandia Baru bersama-sama menghadapi pandemi dengan satu narasi yang sama : Stay At Home alias lockdown. Pesan-pesan komunikatif dirancang sehingga tidak hanya mudah dipahami tetapi juga menimbulkan motivasi untuk mengikuti arahan. Sikapnya tegas, kebijakan yang ditetapkan sangat ketat, tetapi cara penyampian pesannya banyak menuai pujian.
Kisah keberhasilan menangani pandemi Covid-19 juga terjadi di Taiwan, dibawah kepemimpinan presiden Tsai Ing-wen. Jauh sebelum pandemi meluas, Ing-wen segera menutup akses keluar masuk orang terutama dari negar-negara yang merupakan wilayah pandemi. Tak hanya menutup akses masuk ke negara Taiwan, Ing-wen juga membentuk pusat pengendalian epidemi dan membuat skema tracing untuk melacak dan menghambat penyebaran virus Covid-19. Bahkan Ing-wen memerintahkan produksi APD secara massal serta menerapkan social distancing secara ketat. Gerak cepat dan manajemen pencegahan yang dilakukan Ing-wen berlangsung sangat efektif didukung oleh kepatuhan rakyat Taiwan yang meskipun individualis tetapi memiliki tanggung jawab sosial yang tinggi.
Di Jerman, kanselir Angela Markel mendasarkan keputusan-keputusannya dalam menangani pandemi Covid-19 ini pada science. Secara terbuka dan apa adanya Markel menyampaikan kepada rakyat Jerman bahwa mereka tengah menghadapi situasi berat wabah Covid-19 sehingga perlu dilakukan pencegahan seperti pembatasan, test swab, pelacakan (tracing) dan isolasi mandiri besar-besaran setelah kasus pertama ditemukan di Bavaria pada Januari 2020.
Sama dengan Markel, Perdana Menteri Norwegia Erna Solberg juga mendasarkan kebijakan penanganan pandemi pada science yang langsung menerapkan lockdown dan menutup sekolah-sekolah dan semua fasilitas umum sejak kasus pertamam ditemukan di Norwegia. Demikian juga Perdana Menteri Finlandia Sanna Marin yang langsung secara tegas menerapkan total lockdown dan melarang semua perjalanan keluar masuk wilayah Helsinki. Lain lagi dengan pemimpin Islandia Katrín Jakobsdòttir yang bisa mengendalikan Covid-19 tanpa lockdown dan tidak menutup sekolah-sekolah maupun fasilitas umum lainnya. Ia hanya melakukan tracing dan test swab secara massal.
Di Korea Selatan, Kepala Pusat Pengendalian Penyakit Nasional, dokter Jeong Eun Kyeong menjadi viral setelah menginisiasi swab test secara massal dan tracing kontak pasien untuk mengetahui pergerakan virus. Belajar dari kasus MERS yang menempatkan Korea Selatan sebagai negara dengan korban tertinggi kedua setelah Arab Saudi pada tahun 2015, yakni dengan menjalankan drive thru screening clinics, penggunaan ICT dalam aplikasi Special Immigration Procedure (SIP) yang ditempatkan di pintu masuk bandara, dan life treatment centre sebagai pusat perawatan pasien dengan gejala ringan. Jeung menginisisasi swab test secara massal dan melacak kontak pasien untuk mengetahui pergerakan virus.
KEPEMIMPINAN PEREMPUAN
Banyak orang meragukan kepemimpinan perempuan karena mereka dianggap tidak sekuat dan setegas laki-laki dalam mengambil keputusan. Tantangan kepepmimpinan perempuan berbeda dengan laki-laki. Berbagai riset dan survey yang menunjukkan perempuan harus berjuang keras sebagai pemimpin agar dianggap setara dengan laki-laki, yaitu dengan lebih menunjukkan integritas, kompetensi, dan kepemimpinan.
Dokter Louann Brizendinn (2006), seorang neuro-psikiatri dari University of California, menyatakan hal yang membedakan perilaku perempuan dan laki-laki adalah otak. Otak perempuan pula yang mempengaruhi fungsi kecerdasan, perkembangan emosi, karir profesional maupun naluri melahirkan dan mengasuh keturunan. Otak perempuan memiliki berbagai kemampuan unik seperti keteramilan verbal, menjalin relationship, membaca wajah dan nada suara, mengenali emosi dan keadaan pikiran orang lain, dan memiliki kemampuan untuk meredakan konflik. Semua itu adalah bakat-bakat yang sudah dibawa sejak lahir, hal yang tidak dimiliki oleh otak laki-laki dimana laki0laki memiliki bakat-bakat lain yang dibentuk oleh realitas hormon mereka (Brezendin, 2006)
Dalam sejarah evolusi manusia, sejak masa perburuan perempuan dikondisikan berhadapan dengan tugas-tugas demosetik berkaitan dengan fungsi reproduksi sehingga merawat, menjaga generasi, dan mengurus pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan kelangsungan hidup terus berkembang sejalan dengan perkembangan otak perempuan. Dibanding spesies lain, manusia lahir dalam kondisi tak berdaya, bergantung selama bertahun-tahun kepada orang lain untuk bertahan, berlindung, dan memperoleh pengetahuan (pendidikan). Fakta ini memberi kontribusi besar bagi kemampuan sosial manusia dan problem-problem sosialnya, dimana perempuan yang bertugas membesarkan anak-anak terus menerus memerlukan bantuan orang lain. Dengan demikian, evolusi mengajarkan otak perempuan untuk mampu membentuk ikatan-ikatan sosial yang kokoh. Demikianlah perempuan identik dengan sifat keibuan, naluri melindungi, lebih mengedepankan empati, dan mudah bekerjasama dengan orang lain.
Dalam konteks kepemimpinan sebenarnya tidak ada perbedaan mendasar dalam gaya kepemimpinan antara laki-laki dan perempuan. Namun sesuai karakter yang melekat dalam diri seseorang, karakter kepemimpinan perempuan umumnya lebih mengedepankan empati dan mudah berkolaburasi dibanding para laki-laki yang cenderung mengedepankan kompetisi.
Dalam menjalankan peran sebagai pemimpin, perempuan lebih banyak menggunakan pendekatan keluarga. Banyak keputusan-keputusan yang menyentuh setiap segmen masyarakat, karena sebagai perempuan memiliki pengalaman dalam mengelola rumah tangga, merawat dan mengasuh anak-anak sehingga perspektif keputusan didasarkan pada pengalaman tersebut. Maka tidak mengherankan jika dalam menghadapi pandemi Covid-19 para oemimpin perempuan bisa bertindak lebih cepat, detil, dan menyentuh hingga bagian terdekat dengan realitas kehidupan dan kebutuhan masyarakat sehari-hari. Mereka menggunakan bahasa yang sederhana, mudah dimengerti, dan lebih mengedepankan empati serta kerjasama. Begitulah, naluri perempuan bekerja sangat baik meski dalam perkara besar sekalipun.
KOMUNIKASI RESTORATIF
Respons terhadap krisis Covid-19 sangat beragam karena setiap negara memiliki realitas sosial-ekonomi dan ketersediaan sumber daya yang berbeda. Tentu saja hal ini mempengaruhi pengambilan keputusan-keputusan sulit ditengah ketidakpastian gelombang pandemi. Salh satu diantaranya adalah resiko berhentinya roda perekonomian di awal pandemi apabila harus memilih lockdown untuk menghambat penyebaran pandemi. Tentu ini bukanpilihan mudah dan bukan merupakan kebijakan populis dan berisiko menimbulkan penolakan dari masyarakat. Terlepas dari negara-negara dalam contoh-contoh diatas adalah negara ekonomi maju dengan sistem penunjang kesejahteraan dan sistem kesehatan yang kuat untuk menghadapi kondisi darurat, ada kesamaan kebijakan yang dilakukan oleh para pemimpin perempuan : mereka merespons krisis pandemi Covid-19 ini dengan baik.
Hal menarik yang juga layak menjadi perhatian adalah gaya berkomunikasi para pemimpin perempuan dalam menghadapi pandemi Covid-19. para pemimpin perempuan ini justru mendapat dukungan publik ketika mereka berbicara secara transparan dan terbuka mengenai tantangan yang harus mereka hadapi dalam berperang melawan pandemi. Melihat bagaimana mereka menyampaikan informasi, mengambil keputusan, dan mendapat dukungan masyarakat nampak jelas bahwa para pemimpin perempuan ini adalah komunikator yang sangat baik.
Dan gaya komunikasi restoratif dipilih sesuai karakter seorang perempuan yang memiliki tanggung jawab untuk melindungi dan memperhatikan keluarga sekaligus menghargai orang-orang yang ada di dalam keluarganya. Gaya komunikasi ini menggabungkan komunikasi strategis dan komunikasi humanis. Komunikasi strategis berkaitan dengan mengkomunikasikan langkah-langkah kebijakan yang dilakukan untuk mengantisipasi dampak krisis, memberi semangat untuk bisa melewati krisis bersama-sama, dan mengembalikan rasa aman pada masyarakat.
Sementara komunikasi humanis berfokus pada hal-hal yang menyentuh kebutuhan mendasar masyarakat seperti makanan, kebersihan, dan kesehatan. Informasi-informasi yang dikemas dengan mengedepankan penyadaran bahwa masalah krisis adalah masalah bersama dan harus dihadapi dengan bekerjasama antara masyarakat dan pemerintah, dan pemerintah lebih mengutamakan kepentingan dan keselamatan warganya. Disinilah komunikator menempatkan audiens dalam posisi partisipator utama sehingga mereka merasa dihargai.
Sebuah proses komunikasi disebut efektif apabila mudah dipahami, mampu menimbulkan perubahan sikap, dan menghasilkan efek sesuai yang diharapkan komunikator. Ada derajat akurasi yang tinggi yang dicapai oleh komunikator dan komunikan sehingga antara kedua pihak ini berada dalam satu frekuensi. Menilik pada komponen-komponen komunikasi yang meliputi komunikator, pesan, media, komunikan, dan efek komunikasi, maka komunikasi efektif akan terjadi apabila antara komunikator dan komunikan memiliki kesamaan pemahaman, keinginan, dan tujuan sesuai maksud yang terkandung dalam isi pesan dan menggunakan media yang bisa menjangkau komunikan dengan cara yang paling tepat sasaran.
Dari para pemimpin perempuan ini kita bisa melihat setidaknya ada 3 hal yang menjadi kunci keberhasilan komunikasi yang mereka lakukan, yakni : (a) komunikasi bersifat arahan, (b) komunikasi yang bersifat memberi pemahaman, dan (c) komunikasi yang bersifat empati yang terbungkus dalam gaya komunikasi restoratif. Kualifikasi pemimpin efektif yang nampak dalam gaya komunikasi restoratif ini dapat menumbuhkan kepercayaan, penuh welas asih, berorientasi pada stabilitas dan harapan di situasi krisis sehingga menumbuhkan kepercayaan masyarakat.
Referensi :
Brizendin, L., (2006), The Female Brain, 3rd Ed., Jakarta : Phoenix Publishing Project
Coombs, W. Timoty & Sherry J. Holladay., (2010), The Handbook of Crisis Communication, United Kingdom : Blackwell Publishing Ltd.
Goleman, D. (2010), Working with Emotional Intelligence, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Indonesia
Brenan, Bridget., (2020), How Angela Markel's Science Background Gives Her an Edge Against Coronavirus in Germany,abc.net, 3 Mei 2020, https://amp.abc.net.au/article/12200494? twitter impression=true, diakses 3 Mei 2020
Champbell, Charlie, (2020), South Korea's Minister on How His Country is Beating Corona Virus Without Lockdown, Time.com, 30 April 2020, https://time.com/5839594/south-korea-covid19-coronavirus/?utm_source=teitter&utm_medium=social&utm_campaign=editorial&utm_term=worldcovid-19&linkId=87715189, diakses 30 April 2020
Jabeer, Jumana, (2020), Taiwan Sets An Example for The World on How to Respond to A Future Pandemic, thediplomaticaffairs.com, 2 Mei 2020, https://www.thediplomaticaffairs.com/2020/05/02/taiwan-covid-19/, diakses 2 Mei 2020
Wasito, Bram.A., (2020), Tiga Alasan Mengapa Respons PM Jacinda Ardern terhadap Coronavirus adalah Teladan Kepemimpinan di Tengah Krisis, theconversation.com, 16 April 2020, https//:theconversation.com/tiga-alasan-mengapa-respons-pm-jacinda=ardern-terhadap-coronavirus-adalah-teladan-kepemimpinan-di-tengah-krisi-136501, diakses 30 April 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar