Jumat, 16 Oktober 2020

THE NEW NORMAL : INTERNALISASI KEBIASAAN BARU ERA PANDEMI COVID-19

Suatu ketika sebuah Wabah berbincang dengan seorang Kafilah di padang gurun Damaskus :

    "Mau kemana kau, Wabah ?" tanya seorang Kafilah

    "Mau ke Damaskus, mau merenggut seribu nyawa," jawan si Wabah tanpa ragu

Sekembalinya dari Damaskus, Wabah bertemu kembali dengan Kafilah. Si Kafilah pun protes :

    "Hai Wabah, kau merenggut lima puluh ribu nyawa, bukan seribu seperti katamu."

    "Tidak," ujar Wabah. "Aku betul-betul hanya mengambil seribu nyawa. Sisanya mati karena ketakutan."

(Anthony de Mello)


    Tahun 2020 bisa jadi adalah tahun yang melahirkan banyak kenangan bagi seluruh penjuru dunia.  Bisa jadi tahun ini adalah tahun yang menorehkan sejarah yang menarik yang tak akan habis untuk diceritakan ke generasi yang akan datang. Kehadiran pandemi Covid-19 telah membuat kalang kabut hampir seluruh penduduk dunia, termasuk di Indonesia. Tidak lama setelah ditemukan kasus pertama pada 2 Maret 2020, pemerintah RI segera mengeluarkan kebijakan pembatasan berskala besar, yang membuat masyarakat mau tidak mau harus berhenti atau mengurangi aktivitas di luar rumah.

    Istilah lockdown, stay at home, work from home, learn from home, karantina, ODP (Orang Dalam Pantauan), PDP  (Pasien Dalam Pantauan), OTG (Orang Tanpa Gejala), ODG (Orang Dengan Gejala), rapid test, social distancing, dan sebagainya mendadak begitu familiar didengar dan diucapkan. Masyarakat "dipaksa"  menjalani kehidupan diluar kebiasaan : mengerjakan segala sesuatu di rumah saja. Bekerja di rumah secara online, belajar di rumah secara online, belanja barang maupun makanan dan minuman juga cukup dari rumah secara online  adalah #TheNewNormal yang "dipaksakan" menjadi suatu kondisi yang dianggap normal selama masa pembatasan sosial. Kini saat pandemi sudah relatif  terkendali dan masyarakat mulai kembali beraktivitas seperti sebelum ada pandemi, ada lagi #TheNewNormal yang harus dijalankan masyarakat : protokol kesehatan di area publik yakni dengan menggunakan alat pelindung diri seperti masker dan faceshield, rajin mencuci tangan dengan sabun di air mengalir, dan selalu menggunakan handsanitizer. 


EMPATI DAN KOMUNIKASI EMPATI

    Istilah simpati, empati, dan antipati saat ini sedang rajin melintas di telinga dan mata kita, entah dari obrolan dengan teman, di media massa umum, atau di media sosial. Perdana Menteri New Zealand Jacinda Ardern dinilai sukses menangani pandemi Covid-19 di negaranya, salah satunya karena kemampuannya  untuk melakukan komunikasi empati kepada rakyat New Zealand (https://ryawiedy.blogspot.com/2020/10/perempuan-perempuan-tangguh-ditengah-covid19.html). Komunikasi  empati berkaitan dengan kemampuan komunikator untuk menyampaikan pesan secara tepat dengan menempatkan diri seolah-olah berada dalam posisi orang lain, melibatkan diri dalam persoalan yang sama dengan yang dihadapi oleh orang lain.

    Sebenarnya apa yang dimaksud dengan empati ? Empati adalah kemampuan untuk memahami perasaan dan masalah orang lain, berpikir dengan sudut pandang mereka, serta menghargai perbedaan perasaan orang lain tentang berbagai hal. Secara sederhana, empati dapat diartikan sebagai  kemampuan orang untuk melakukan identifikasi dan memahami perasaan, pikiran, dan sikap orang lain dengan cara seolah-olah mengalami sendiri apa yang dialami oleh orang lain. Dalam perspektif beberapa keilmuan, empati dibedakan menjadi : (1) Empati afektif atau yang juga sering disebut empati emosional, yakni kemampuan seseorang berbagi dan merasakan emosi orang lain, (2) Empati kognitif, yakni kemampuan memahami emosi orang lain tanpa terlibat dengan atau berbagi emosi (biasanya dilakukan psikolog), dan (3) Empati regulatif, yakni kemampuan mengendalikan emosi agar tidak terlibat dalam emosi orang lain. 

    Komunikasi empati merujuk pada bagaimana seorang komunikator memposisikan diri pada apa yang dialami oleh orang lain, dengan mengidentifikasi diri dalam perasaan, pikiran, dan perilaku  orang lain. Dalam melakukan komunikasi empati, seseorang harus melepaskan diri dari kepentingan-kepentingan, ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain, sekaligus memiliki skill untuk memilih kata-kata dan moment yang tepat untuk menyampaikan pesan. Pendek kata, diperlukan  kepekaan terhadap berbagai aspek yang ada pada posisi orang lain dalam melakukan komunikasi empati.

    Jika kita tarik dalam situasi pandemi di Indonesia, nampaknya banyak elit dan pejabat berwenang  yang harus belajar bagaimana berkomunikasi dengan mengedepankan empati. Sejak awal pandemi, kita melihat carut-marut komunikasi justru dipertontonkan oleh pihak-pihak yang seharusnya menjadi sumber informasi pertama bagi masyarakat : pemerintah.  Mulai dari kurangnya keterbukaan, kontroversi informasi antar pejabat dan lembaga pemerintah, tidak adanya narasi yang disepakati bersama sebagai visi dalam menghadapi situasi krisis akibat pandemi, bahkan berbagai istilah terkait situasi pandemi yang berubah-ubah, multi tafsir, dan memicu perdebatan di ranah publik. Hal ini diperburuk dengan ulah sebagian kelompok masyarakat yang membuat keriuhan informasi diwarnai hoaks dan kuatnya nuansa politik memanfaatkan situasi pandemi. 

    Di masa krisis seperti saat ini, kekuatan komunikasi empati sangat perlu dilakukan oleh berbagai pihak baik pemerintah, oposisi, maupun berbagai elemen masyarakat. Sesungguhnya di awal-awal datangnya pandemi, kita sebagai bangsa Indonesia semestinya berbangga  dengan menguatnya semangat gotong royong dimana tanpa komando aksi-aksi simpatik filantropi muncul dimana-mana. Sayang sekali  hiruk pikuk komunikasi seolah menutup keindahan suasana kebersamaan dan gotong royong, seolah begitu sulit berbicara dalam koridor empati. Pemerintah yang seolah  tidak peka terhadap kebutuhan informasi masyarakat, masyarakat yang tidak sabar dan tidak peka terhadap kesulitasn yang dihadapi pemerintah, dan oposisi yang terus menerus meramaikan panggung  politik dengan narasi-narasi antipati yang membuat penanganan pandemi menjadi terasa berat dan tanpa arah.

    Banyak persoalan di masyarakat yang bermuara  pada kegagalan komunikasi. Filsuf Martin Buber punya gambaran menarik tentang hal ini : "Kita bis amenemukan Tuhan melalui nteraksi dengan orang lain." Aspek penting  dalam interaksi menurut Buber adalah dialog dan komunikasi dilakukan untuk membentuk komunitas dimanadalam sebuah komunitas individu-individu  saling bekerja sama didasarkan pada kesadaran bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain.

    Dalam perspektif komunikasi, pernyataan Buber ini bisa dimaknai  bahwa solusi atas persoalan-persoalan di masyarakat bisa kita selesaian jika kita berdialog. Dalam dialog komunikasi berlangsung dua arah dimana posisi masing-masing partisipan setara dan bukan sebagai obyek melainkan sebagai subyek dalam persoalan itu. Dengan demikian komunikasi yang baik dan efektif bisa dicapai dengan mudah karena masuknya berbagai perspektif dan pendapat yang mewakili banyak pihak.

    Komunikasi empati bisa dicapai apabila komunikator bisa mendengar pendapat orang lain, menerima sudut pandang orang lain, serta peka terhadap apa yang dirasakan dan dialami oleh orang lain. Disinilah empati dan komunikasi empati memunculkan sisi humanisnya, dan diyakini memiliki daya persuasif yang lebih baik ketimbang bentuk komunikasi lain yang bersifat instruktif atau bahkan represif.

  

 JURU BICARA DAN KOMUNIKASI PERSUASI

    Pandemi adalah masalah dan tanggung jawab bersama, maka konsep komunikasi  semestinya diarahkan pada penguatan kohesi sosial dan komunikasi positif yang mendorong adanya satu narasi bersama untuk melawan pandemi sehingga presentasi masyarakat kita akan lebih mengedepankan empati, perilaku gotong royong, saling bersinergi, dan semangat membangun solidaritas antar sesama. Dengan demikian diharapkan ada kesadaran bersama bahwa penanganan pandemi Covid-19 bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat saja, atau kepala daerah saja, atau masalah kesehatan saja. Jangn lupa, pandemi ini secara keseluruhan bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga masalah ekonomi, politik, sosial, budaya, bahkan pertahanan adan keamanan juga.

    Memilih dr. Reisa Subroto sebagai juru bicara untuk mengkomunikasikan informasi dari pemerintah, tentu mempertimbangkan berbagai hal salah satunya keterampilan berkomunikasi, untuk memperbaiki praktik komunikasi krisis saat ini. Selain membawa perbaikan dalam kondisi psikologis masyarakat, diharapkan juga membawa pesan-pesan empati yang bisa menggerakkan kesadaran masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan.  

    Membangun kesadaran kolektif dan  mengembalikan public trust terhadap pemerintah memang tidak mudah. Kita ingat di masa awal pandemi terjadi di Indonesia, hyperreality media telah menciptakan kepanikan  bagi sebagian besar masyarakat. Riuh informasi di ruang-ruang publik telah menambah bias informasi, meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan, para pakar, maupun semua narasi yang dibangun pemerintah. Kondisi ini  harus dipahami oleh seorang juru bicara sehingga pesan-pesan komunikasi harus jelas dan lugas. 

    Mengapa harus jelas dan lugas ? Pertama, segala bentuk kecemasan dan kepanikan yang terjadi dalam diri seseorang umumnya disebabkan oleh kondisi ketidakpastian yang disebabkan kurangnya informasi. The uncertainty reduction theory menjelaskan bagaimana seseorang akan mencari informasi untuk mengurangi ketidakpastian, mencari kejelasan dan informasi-informasi yang meyakinkan. Disisi lain, umumnya orang mencari informasi hanya yang memperkuat apa yang diyakini benar. Sementara disisi lain, deras arus informasi justru memicu munculnya berbagai imajinasi liar sehingga pengetahuan masyarakat awam bisa menjadi makin bias. 

    Kedua,  hyperreality media diproduksi massal baik di media massa umum konvensional maupun di media sosial, tidak jelas pakah informasi-informasi yang diproduksi berbasis sains atau berbasis ilmu tafsir dan cocokologi. Belum lagi broadcast-broadcast yang edar super cepat melalui WA group  menambah carut marut informasi akibat bias konfirmasi. Disini peran juru bicara diperlukan. 

    Mengapa ? Diawal pandemi, informasi edukatif penting agar masyarakat mengetahui karakter virus, cara penularan dan cara menghindari penularan, gejala terinfeksi, dan apa yang harus dilakukan jika mengalami gejala terinfeksi. Sayangnya pada fase awal munculnya kasus Covid-19 di Indonesia pemerintah tidak siap dengan informasi-informasi edukatif tentang hal ini sehingga memberi peluang munculnya  simpang siur informasi termasuk menjamurnya info-info hoaks. Itu sebabnya diperlukan juru bicara selaku komunikator yang memiliki kredibilitas untuk menyampaikan pesan, terampil memilih narasi yang tepat agar tidak menghasilkan respons negatif dari masyarakat yang dalam teori respons kognitif Belch (2003) disebut sebagai counter argument dan jika dimanifestasikan dalam bentuk perilaku akan muncul dalam bentuk distrust dan tindakan "ngeyel".

    Respons kognitif merupakan salah satu komponen pembentuk sikap yang dikonseptualisasikan sebagai pengetahuan faktual seseorang mengenai sesuatu. Komponen-komponen ini kemudian membentuk cognitive schemata yang memandu proses-proses informasi berkaitan dengan perhatian, interpretasi, dan pembentukan kembali stimulus (respons). Secara sederhana, respons kognitif merujuk pada munculnya pemikiran-pemikiran dalam diri seseorang akibat terekspos informasi, beragam pemikiran yang terjadi pada penerima pesan ketika membaca, melihat, dan/atau mendengar pesan-pesan komunikasi. Pemikiran-pemikiran ini sejatinya mencerminkan proses kognitif atau reaksi penerima pesan sekaligus membantu penerima pesan untuk membentuk sikap menerima atau menolak pesan komunikasi (Belch & Belch, 2003)

    Melihat kondisi masyarakat yang semakin kritis dan  dengan mempertimbangkan gap kognitif diantara kelompok-kelompok masyarakat, perlu disadari bahwa pesan yang dismapaikan seorang juru bicara berpeluang direspons oleh masyarakat baik dalam bentuk respons positif maupun respons negatif. Inilah tuntutan yang harus dipenuhi juru bicara untuk menghadirkan narasi-narasi yang proporsional sesuai maksud dan tujuan komunikasi. 

    Memang tidak sedikit anggota masyarakat yang berusaha berbagi pengetahuan mengenai Covid-19, menyebarkan informasi-informasi dari negara lain sehingga sesungguhnya masyarakat tidak sungguh-sungguh buta menghadapi pandemi ini. Tetapi harus disadari spektrum heterogenitas masyarakat sangat lebar : tingkat pengetahuan tidak merata, kesempatan akses informasi berbeda, dan berbagai aspek lain yang membuat pemahaman mengenai Covid-19 ini juga berbeda. Apalagi informasi-informasi berbasis sains ini juga berbaur dengan ilmu tafsir, hoaks, dan berbagai simplifikasi. Tetapi patut disyukuri seiring berjalannya waktu pengetahuan umum semakin bertambah, peran masyarakat untuk berbagi informasi semakin besar, situasi pandemi semakin bisa dikendalikan, edukasi protokol kesehatan juga sudah banyak membawa hasil, dan kini tinggal edukasi intensif untuk kembali beraktifitas normal dengan situasi normal baru.

    Kebiasaan baru merupakan bagian dari proses internalisasi budaya baru atau enkulturasi, proses adaptasi, dan kelak menjadi hal yang melekat dalam keseharian kita. Dan komuniasi adalah aktivitas yang membawa proses sosial sehingga menghasilkan sebuah perubahan. Sebagai makhluk berakal budi,  manusia memiliki kesadaran untuk beradaptasi melalui proses saling belajar dan saling menirukan dengan manusia lain yang menganut nilai-nilai yang sama. Dalam beradaptasi dengan kenormalan baru ini, kita bisa mengadopsi proses enkulturasi budaya yang dialami manusia sejak lahir. Enkulturasi terjadi melalui proses identifikasi dan internalisasi lambang-lambang atau simbol-simbol budaya yang ada di sekitar kita. Proses belajar melalui peniruan ini membuat manusia bisa saling menyesuaikan perilaku sehingga terbentuk pola perilaku yang kelak akan menjadi sebuah budaya atau kebiasaan. 

    Jika ditarik dalam konteks saat ini, ada banyak kenormalan baru yang "terpaksa" dipelajari, diadaptasi, dan diadopsi oleh masyarakat. Dari yang sederhana saja, menggunakan pelindung diri seperti mengenakan masker dan faceshield ketika berada di area publik yang sebelum terjadi pandemi bukan sesuatu yang lazim dilakukan, kini harus "dilazimkan".  Kebiasaan antri, menjaga jarak, dan perilaku hidup bersih yang sebelum pandemi hanya sebatas kampanye, kini menjadi sesuatu kewajiban yang mungkin kelak akan menjadi kebutuhan atau norma baru di area publik.

    Demikian juga dalam hal penguasaan teknologi terutama yang menunjang aktivitas kerja di rumah (work from home) dan pembelajaran online yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan, kini seperti "dipaksakan" untuk dikuasai. Dan masih banyak lagi kebiasaan-kebiasaan baru yang memerlukan pembiasaan melalui latihan dan edukasi sehingga  pada saatnya nanti akan benar-benar menjadi bagian integral dalam kehidupan sehari-hari.

    Pembiasaan untuk melakukan banyak kebiasaan baru dalam kenormalan baru ini perlu disepakati dalam satu narasi yang sama dan dilakukan secara bersama-sama sehingga benar-benar efektif untuk bisa berdamai hidup bersama dengan Covid-19. Ada 3 hal yang perlu terus dikembangkan dalam beradaptasi dengan norma baru ini yakni : (a) penguasaan teknologi dan kepercayaan terhadap sains, (b) sinergitas antar pemangku kepentingan, dan (c) solidaritas sosial. Penguasaan teknologi diperlukan sebagai bentuk adaptasi baru untuk mempermudah aktivitas tanpa kehilangan produktivitas ketika ruang gerak harus terbatas, kepercayan kepada sains sebagai dasar pengetahuan utama berkaitan dengan penanganan Covid-19, sinergitas antar pemangku kepentingan untuk mendukung satu narasi yang sama berperang melawan pandemi, dan solidaritas sosial diperlukan agar antar anggota masyarakat saling menjaga dan mendukung langkah-langkah pencegahan  penularan Covid-19 termasuk kepatuhan terhadap protokol kesehatan.

    Pilar utama kehidupan sosial adalah empati, dimana masing-masing individu diikat oleh nilai-nilai yang sama atau ikatan emosional antar individu sehingga bisa saling bekerjasama. Sebagaimana telah disampaikan, empati adalah bagaimana memposisikan diri kita pada pengalaman dan emosi orang lain, demikian juga empati dimasa pandemi. Setiap orang diharapkan memiliki sikap empati kepada orang lain sehingga upaya membangun dan mempertahankan narasi yang sama untuk melawan Covid-19 ini menjadi sesuatu yang tidak sulit dilakukan.

    Empati menjadikan seseorang peduli tidak hanya pada diri sendiri tetapi juga terhadap orang-orang disekitarnya. Maka tagline "Protect Yourself to Protect Others semestinya tidak lagi menjadi materi kampanye atau sebuah instruksi, melainkan menjadi kesadaran bersama. Empati bisa ditumbuhkan melalui proses latihan dan saat ini adalah saat yang baik untuk kita berlatih mengasah empati. Meski banyak ahli berpendapat empati diperoleh dari belajar yang prosesnya dimulai sedini mungkin, tetapi tidak ada kata terlambat untuk sebuah kemauan belajar. Bangsa besar ini memang harus banyak belajar.

(Tulisan ini bagian dari buku Diskursus Covid-19 Dalam Perspektif Komunikasi, MBridge Press Yogyakarta, 2020, ISBN : 978-623-6615-04-1)

REFERENSI

Belch, George E., & Belch, Michael A., (2003), Advertising and Promotion : An Integrated Marketing Communication Perspective, 6th Ed., The McGraw Hills Companies

Buber, M., (2004), Between Man and Man, Penterjemah :Ronald Gregor Smith, London & NY : The Taylor & Francise e-Library

Mello, P.A., (1997), The Heart of The Enlightened : A Book of Story Meditation, Glasgow : Fount  Paperbacks


    





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEKOLAHKU ADA DI TUMPUKAN BUKU

  "A wealth of information creates a poverty of attention" Herbert A. Simon ~ Pemenang Hadiah Nobel di bidang Ekonomi, 1978 Sudah ...