KEGELISAHAN ITU
Di awal terjadi pandemi Covid-19 di Indonesia sekitar Maret 2020, kita dihadapkan pada banyak situasi yang lebih mencerminkan kepanikan masyarakat : ketakutan berlebihan, borong memborong persediaan pangan menghadapi lockdown, kelangkaan masker dan hand sanitizer, sampai pada beredarnya aneka ragam hoaks mengenai virus, dampak virus, cara penularan, cara pengobatan, bahkan beredar potongan-potongan film Contagious yang dinarasikan sebagai video kejadian yang menunjukkan keganasan Coronavirus.
Kepanikan, maraknya hoaks, kesimpangsiuran informasi mengenai virus dan penanganan pandemi, buruknya komunikasi krisis di pemerintah baik komunikasi vertikal maupun horisontal, kurangnya koordinasi antar sektor, sampai pada kesombongan akademis tentang ranah keilmuan penanganan pandemi. Covid-19 memang soal penyakit, masalah kesehatan yang menimpa masyarakat. Tetapi dampaknya tidak hanya terkait dengan masalah-masalah kesehatan, tetapi menjadi masalah sosial yang menyangkut banyak sendi kehidupan dalam masyarakat.
Kita ambil saja satu contoh kejadian ketika pertama kali ditemukan kasus positif Covid-19 di Indonesia pada awal Maret 2020. Keriuhan komunikasi serta merta terjadi : saling menyalahkan, saling berpendapat, saling beradu argumentasi. Hyperreality media massa dan marak hoaks yang tersebar melalui aneka platform media sosial menambah keriuhan dan simpang siur informasi. Kepanikan melanda semua ruang baik ruang privat maupun ruang publik.
Kemudian ketika sebuah kebijakan diambil pemerintah : Stay at Home atau Work from Home, ketika semua kantor, fasilitas umum, pertokoan dan pusat-pusat perbelanjaan, bahkan jalan-jalan ditutup suasana kepanikan itu makin terasa kuat. Kebijakan lockdown yang diterapkan di Wuhan sebagai titik awal pandemi seolah "menginspirasi" banyak orang termasuk saya untuk belanja besar-besaran demi mengisi stok persediaan makanan dan aneka kebutuhan rumah menghadapi situasi yang tak pasti kapan akan berakhir. Begitu mendadak, barang-barang kebutuhan dan bahan makanan pun kemudian langka, sementara stok terhenti tidak hanya karena penyedia barang harus tutup kantor tetapi juga jalan-jalan yang harus ditutup sampai akhirnya semua kebijakan di koreksi dan sedikit demi sedikit dikendalikan.
Sementara di sisi lain, hoaks makin sering bertebaran di media sosial. Kementerian Kominfo mencatat ada 147 berita bohong selama Januari-Maret 2020 terkait virus Corona (Kompas, 3 Maret 2020), dan meningkat tajam mencapai 1.016 hoaks terkait Covid-19 yang tersebar di 1.912 platform. Dari sekian banyak hoaks terkait Covid-19 ini 20 persen diantaranya hoaks mengenai pencegahan dan pengobatan Covid-19 (Kompas, 6 September 2020). Narasi-narasi yang dibangun terkait pengobatan dan pencegahan Covid019 ini cenderung mudah dipercaya karena berbasis testimoni. Ditambah lagi munculnya asumsi-asumsi teori konspirasi yang juga beredar di ruang publik dan dipercaya oleh sebagian masyarakat, ikut membangun kondisi "darurat" yang tidak hanya memperparah kepanikan masyarakat. Carut marut informasi, kekacauan dan keriuhan komunikasi, ditambah nuansa politis yang dipengaruhi polarisasi dukungan politik pasca pilpres 2019 tak urung menjadi satu masalah yang ikut memperberat upaya penanganan pandemi.
Di masa awal pandemi ini, ada kegelisahan di hati saya muncul ketika di WhatsApp Group teman-teman akademisi yang sebagian besar berlatar ilmu sosial justru ikut larut dalam arus kepanikan, bahkan ikut share & re-share hoaks, yang kemudianmenghasilkan perdebatan dan berujung pada polarisasi dukungan politik. Entah kenapa teman-teman yang saya harapkan bisa berkontribusi mengendalikan kepanikan masyarakat, mencegah depresi akibat tekanan kondisi, meredakan persebaran hoaks, ikut memikirkan solusi penanganan pandemi, maah terbawa arus. Jiwa saya makin tidak terima ketika dorongan narasi bahwa pandemi adalah masalah kesehatan dan bukan wilayah ilmuwan sosial untuk terlibat makin kuat.
Oh ya ? Kepanikan masyarakat berkaitan dengan psikologi sosial, dorongan aksi borong berkaitan dengan sosiologi dan budaya, belum lagi masalah ekonomi jika pasar, pertokoan dan pusat perbelanjaan, warung, resto, dan hotel tutup. Bagaimana para pedagang kecil, bagaimana pelaku UMKM ? Belum lagi saat ini, ketika masyarakat tidak patuh pada anjuran protokol kesehatan yang membuat terus bermunculan klaster-klaster penularan baru, rendahnya public trust kepada pemerintah, aktivitas-aktivitas politik sekelompok orang. Apakah lockdown, semi lockdown, total lockdown, karantina terbatas, atau karantina wilayah kecil ? Apakah masalah kesehatan atau masalah ekonomi yang harus menjadi prioritas penanganan, kalau dipilih salah satu apa dampaknya, kalau harus berjalan beriringan apa konsekuensinya ? Bagaimana pula dengan masalah pengangguran dan dampak yang ditimbulkan ?
Semua ini adalah persoalan-persoalan yang harus ditangani dan butuh jawaban. Bukankah ini masalah-masalah di luar bidang kesehatan ? Faktanya, pandemi Covid-19 adalah masalah kesehatan yang pada akhirnya memicu munculnya permasalahan-permasalahan sosial. Kegelisahan saya yang pertama adalah : kemana para ilmuwan sosial berada saat masyarakat berada dalam situasi seperti ini ?
FAKTA YANG MENGGELITIK
Saya tidak hendak membahas persoalan pandemi, masalah-masalah yang ditimbulkan, maupun solusi yang harus dijalankan. Disini saya hanya ingin mereka-reka bagaimana keilmuan sosial akan berkembang dimasa yang akan datang dan apa yang harus dilakukan dengan perkembangan keilmuan sosial terlebih mensikapi era disrupsi sebagai dampak revolusi industri dan komunikasi yang menghasilkan tumbuhnya masyarakat digital.
Di masa lalu, kita terbiasa memilah ilmu menjadi dua, yakni ilmu sosial dan ilmu alam. Dan uniknya, ilmu alam dianggap lebih elit ketimbang ilmu sosial. Sebutan anak IPA lebih pinter secara akademis dibanding anak IPS, anak IPA lebih saintifik ketimbang anak IPS, bahkan dalam pembagian kelas dibedakan kelas Fisika, Biologi, Sosial, dan Bahasa didasarkan pada nilai akademik, meski ada juga yang berdasar peminatan. Begitulah ilmu sosial dalam waktu yang sangat panjang dianggap sebagai keilmuan kelas dua.
Saat ini, dikotomi IPA-IPS ini sudah tidak bisa lagi dilakukan. Ada banyak fakta sosial yang ternyata mengharuskan adanya emerging skill & emerging science or knowledge. Kita ambil saja satu contoh bidang ilmu yang mempelajari perilaku manusia berdasar kinerja otak : Behavioral Neuroscience. Ilmu yang sudah lama berkembang ini adalah penggabungan dua keilmuan yakni bidang ilmu sosial dan ilmu alam (biologi). Mempelajari perilaku manusia selama ini dipahami sebagai domain ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, dan psikologi. Sementara neurologi jelas domain keilmuan alam khususnya biologi. Tetapi mempelajari kinerja otak manusia ternyata bisa mengenali pola-pola perilakunya dan dari pola perilaku manusia yang dikendalikan oleh otak ini seharusnya kita bisa membuat prediksi-prediksi pada setiap fakta sosial yang terjadi di sekitar kita, sekaligus membuat strategi untuk permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi. Di bidang ilmu komunikasi sendiri sudah emerging banyak bidang keilmuan sehingga menghasilkan ilmu-ilmu turunan yang lebih mendekat ke masalah-masalah faktual seperti komunikasi kesehatan (komunikasi terapeutik), komunikasi bencana, komunikasi krisis, komunikasi pariwisata, dan komunikasi kependidikan.
Ini baru satu contoh saja. Kita bisa bayangkan betapa "menyenangkan" jika penggabungan berbagai keilmuan ini menghasilkan ilmu-ilmu turunan yang lebih mendekati fakta sosial sehingga kolaborasi antar ilmu dan para ilmuwan multidisiplin bisa menjawab persoalan-persoalan di masyarakat secara komprehensif dan secara holistik sehingga kesombongan-kesombongan akademis itu tidak perlu ada.
Dan memang seharusnya kesombongan akademis tidak perlu ada. Apalagi jika kita melihat fakta-fakta menggelitik yang kita lihat atau bahkan kita alami sendiri, dimana ilmu-ilmu yang kita dapatkan di bangku kuliah atau bangku sekolah ternyata tidak banyak bermanfaat di tempat kerja karena ternyata lapangan kerja yang dimasuki tidak sesuai dengan kompetensi yang diajarkan di bangku kuliah. Berapa banyak sarjana pertanian yang bekerja sebagai teller bank ? Atau sarjana peternakan yang bekerja sebagai sekretaris, sarjana teknik kimia yang bekerja sebagai staf administrasi, sarjana komunikasi yang bekerja sebagai kasir, dan masih banyak lagi. Faktanya, banyak lulusan sebuah program studi yang bekerja di lapangan kerja yang tidak relevan dengan kompetensi yang dipelajari, akhirnya harus belajar sendiri untuk menyesuaikan dengan tuntutan pekerjaan. Ini kegelisahan saya yang kedua.
Kegelisahan ketiga berkaitan dengan pembelajaran jarak jauh selama pandemi Covid-19 yang tentu saja mendistorsi konten pembelajaran akibat ketidaksiapan pendidik, peserta didik, hambatan kepemilikan perangkat dan penguasaan teknologi, dan hambatan-hambatan lainnya. Mungkin sebagian orang akan berkata "Lho...Teknologi memungkinkan PJJ berjalan efektif sama seperti tatap muka." Benarkah ?
PEROMBAKAN KURIKULUM
Membahas bagaimana peluang Ilmu-Ilmu Sosial dimasa yang akan datang, bisa berangkat dari dua kegelisahan diatas. Pertama soal kontribusi ilmu dan ilmuwan sosial dalam masalah-masalah sosial dan yang kedua soal betapa makin lama lapangan kerja yang tersedia makin hybrid, alias multi-disiplin, lintas disiplin.
Dilihat dari pengelompokan Ilmu Alam dan Ilmu Sosial berdasar pohon ilmu sebagaimana kita sering diajarkan ketika mulai awal belajar Filsafat Ilmu, sesungguhnya bisa kita rasakan bahwa makin kesini makin tidak relevan dengan situasi saat ini terutama berkaitan dengan kemanfaatan ilmu untuk menjawab persoalan-persoalan aktual dan faktual di masyarakat.
Dalam perspektif kompetisi, banyak lahan konservatif lulusan Ilmu Sosial yang sekarang dimasuki oleh lulusan bidang keilmuan non Sosial. Disisi lain, keberadaan lapangan kerja juga makin hybrid dan makin interdisipliner. Lulusan Ilmu Sosial tidak hanya bersaing dengan lulusan bidang ilmu lain, tetapi juga lulusan Ilmu Sosial antar negara, apalagi intervensi teknologi memungkinkan sebuah pekerjaan bisa dilakukan dari jarak jauh. Belum lagi dengan makin pesatnya perkembangan teknologi di berbagai bidang yang memaksa semua lulusan lembaga pendidikan tak hanya bersaing dengan sesama lulusan tetapi juga bersaing dengan Artificial Intelligent, Augmented Reality, juga otomasi digital yang membuka peluang semua pekerjaan bisa digantikan oleh teknologi.
Bagaimana lembaga pendidikan memandang dan menjawab kehadiran kompetitor-kompetitor ini ?
Selama ini paradigma belajar di lembaga pendidikan lebih seperti menuang air ke dalam gelas, mengisi gelas dengan air yang berasal dari sebuah kan, banyak sedikitnya tergantung yang menuangkan. Padahal disisi lain, tanggung jawab lembaga pendidikan adalah memajukan dan mencerdaskan bangsa, menghasilkan SDM yang berkualitas dan menguasai IPTEK. Tapi kalimat-kalimat indah ini seringkali hanya kita lihat tertulis di visi misi di buku borang akreditasi, yang tidak selalu (sekali lagi : tidak selalu) linier dengan kualitas lulusan yang dihasilkan. Proses belajar mengajar sendiri lebih cenderung teaching daripada mentoring. Bukan hal yang salah, tapi nampaknya sudah tidak relevan lagi untuk situasi saat ini. Memang tidak sedikit kampus yang sudah mengubah paradigma belajar satu arah, tetapi secara umum cara-cara lama yang konvensional masih banyak dilakukan.
Perubahan memang harus segera dilakukan sejalan dengan kecepatan perubahan terutama perkembangan teknologi yang membuat dunia makin disrupted. Hari ini kondisi disrupsi sudah bukan lagi sekedar perubahan radikal dari sebuah kemapanan, melainkan tumbangnya segala sesuatu yang relevan disuatu masa untuk digantikan sesuatu yang benar-benar baru. Jangan sampai lulusan bertemu dengan ilmu dan teknologi baru yang berbeda dengan yang diperoleh selama menjalani proses pembelajaran. Ini tantangan pendidikan saat ini. Harus segera ada perombakan kurikulum yang memungkinkan pencapaian hasil lulusan yang siap dengan berbagai perubahan.
Capaian Pembelajaran yang ditetapkan setidaknya diarahkan untuk menghasilkan lulusan yang multi-disiplin & memiliki hybrid competence. Ya.. kalau bahasa indahnya menghasilkan lulusan yang mampu bertahan menghadapi berbagai perubahan, mampu berkembang, mampu mengambil inisiatif, bisa memimpin dan sebagainya sehingga tidak menjadi korban disrupsi & hyper-competition. Maka pembelajaran sebanyak mungkin dirancang dalam bentuk problem base learning, sementara penguasaan teknologi digital menjadi basic skill yang harus dimiliki selain listening, writing, dan speaking in English dan/atau bahasa asing lainnya. Dalam hal kampus atau lembaga pendidikan tidak bisa menyiapkan materi tertentu sebagaimana yang dibutuhkan, maka peserta didik semestinya diberikan peluang untuk belajar di luar kampus sesuai dengan passion masing-masing. Kalau yang ini mungkin selaras dengan konsep merdeka belajar yang sekarang sedang digaungkan.
Kembali ke dimana peran ilmu sosial dalam menjawab persoalan-persoalan di masyarakat, lulusan program studi ilmu-ilmu sosial setidaknya juga dibekali dengan kemampuan untuk formulating social problem solution. Tanpa bermaksud mengabaikan atau tidak memandang penting keilmuan lain, harus diakui persoalan-persoalan masyarakat memerlukan peran besar para ilmuwan bidang sosial. Keilmuan sosial bisa menjadi jembatan bagi berbagai keilmuan lain dalam menjawab persoalan sosial. Sebab di era disrupsi seperti saat ini dimana perkembangan teknologi membuat berbagai perubahan yang terus menerus membuat kita nubyak-nubyak alias gagap, penguasaan ilmu dan teknologi, sinergitas antar berbagai bidang, dan mutual friendship trust berbasis empati akan menjadi satu kekuatan untuk mengendalikan perubahan dan persoalan-persoalan yang muncul sebagai konsekuensi adanya perubahan.
Gagasan untuk memunculkan disiplin ilmu baru, SOCIOPRENEUR dan DIGITAL INTELLIGENT adalah gagasan baik yang perlu segera ditindaklanjuti dengan konsep detil yang matang. Cepatlah, perubahan tidak menunggu rumitnya proses birokrasi perombakan kurikulum.
REFERENSI
Schenker, Jason. (2020), The Future After Covid : Futurist Expectations for Changes, Challenges, and Opporunities After the Covid-19 Pandemic, Prestige Professional Publishing, LLC
https://nasional.kompas.com/read/2020/03/03/15330451/selama-23-januari-3-maret-2020-kominfo-deteksi-147-hoaks-soal-virus-corona
https://nasional.kompas.com/read/2020/09/05/09090921/6-bulan-pandemi-covid-19-hoaks-dan-teori-konspirasi-yang-memperparah?page=all
Tidak ada komentar:
Posting Komentar