Selasa, 09 Februari 2021

WHEN BAD NEWS IS GOOD NEWS


"When a dog bites a man, that's not news. 
But, when a man bites a dog, that's news"
(Charles Anderson Dana)


     Ungkapan  "Bad News is Good News" dan "When a dog bites a man, that's not news. But, when a man bites a dog, that's news" adalah prinsip pertama yang diajarkan di kelas-kelas jurnalistik, menjadi pegangan bagi jurnalis-jurnalis pemula, bahkan masih populer hingga saat ini termasuk menjadi "senjata pembenar" bagi karya jurnalistik yang alih-alih mengkritisi situasi sosial, tapi sebenarnya hanya mencari sisi negatif dari setiap peristiwa.
    Sebuah kalimat yang berkonotasi negatif dan  sensasional memang selalu menarik untuk dibaca. Prinsip jurnalistik ini pertama kali konon dikenalkan oleh Charles Anderson Dana, seorang jurnalis senior di New York sekitar tahun 1800-an. Tapi beberapa sumber literatur menyebut ada beberapa jurnalis senior ternama di The New York Sun yang juga menggunakan kata-kata serupa untuk mendefinisikan "What is News?" Tetapi dalam dunia jurnalistik,  Charles A. Dana inilah yang kemudian dianggap sebagai orang pertama yang mendefinisikan news dengan kalimat itu sekaligus sebagai orang pertama yang memperkenalkan konsep jurnalistik modern. 

Siapakah Charles Anderson Dana ini ?

    Charles Anderson Dana lahir di Hinsdale, sebuah kota kecil di tepi barat Chicago pada tahun 1819. Ayahnya seorang pedagang kecil. Ketika bisnis tidak berjalan baik, keluarga Dana pindah ke New York. Sebuah wabah membuat Dana kehilangan ibunya, dan sebagai anak tertua di keluarganya Dana harus ikut mencari nafkah dengan bekerja sebagai penjaga toko milik pamannya, David Denison, di Vermont ~ bagian timur Amerika Serikat. Saat itu usianya baru 9 tahun.

    Charles A. Dana adalah sosok pemuda yang cerdas dan rajin. Hidup dalam kemiskinan tidak menghentikan semangat untuk belajar. Ia termasuk pelajar berprestasi, yang terpaksa berhenti sekolah karena kekurangan dana. Berbekal uang tabungan hasil bekerja sebagai penjaga toko dan ketertarikannya terhadap sastra klasik dan bahasa  mengantarkannya  untuk belajar di Harvard College. Ia juga belajar bahasa Latin dan Yunani secara otodidak. Sayangnya, masalah keuangan dan penglihatan membuat ia harus berhenti dari Harvard College dan melanjutkan studi ke Jerman yang berbiaya lebih murah dan meghidupi diri dengan mengajar bahasa Inggris. Lagi-lagi Charles A. Dana harus gagal menyelesaikan studi karena kesehatan mata yang makin parah. Akhirnya ia bergabung dengan komunitas transendentialis yang mendirikan Brook Farm, bergerak dibidang pertanian. Disini Charles A. Dana kemudian bertemu dengan Eunice Macdaniel dan menikah pada tahun 1841. 

    Di Brook Farm, Charles A. Dana memulai karir menulis dengan menjadi penulis dan editor untuk buletin komunitas The Harbinger yang beredar di luar komunitas dan mendukung prinsip-prinsip reformasi sosial. Dari sini Charles mengembangkan korespondensi dengan editor New York Tribune, Horace Greeley yang juga pendukung transendentialisme dan prinsip-prinsip sosialis Brook Farm. Maka ketika Brook Farm bubar, Charles pun direkrut menjadi staf Tribune. Ini terjadi  bersamaan dengan terjadinya revoluasi disejumlah negara termasuk Jerman dan Perancis. Debut Charles Dana di Tribune dimulai ketika menulis hasil wawancara dengan pemimpin-pemimpin pergerakan termasuk Karl Marx.

    Perbedaan sikap politik antara Charles dengan Greeley terkait pertikaian sipil di negara bagian selatan Amerika Serikat membuat Charles diberhentikan dari Tribune dan sejak itu Charles mulai terlibat dalam politik bahkan menjadi kepercayaan Abraham Lincoln untuk melakukan investigasi dalam tubuh militer Amerika Serikat. Usai perang Charles A.Dana kembali ke dunia jurnalistik dan menjadi editor senior di koran The New York Sun. Koran ini dikenal memberikan dukungan terhadap pemilihan Jenderal Ulysses S. Grant sebagai presiden Amerika Serikat ke-18, tetapi kemudian secara perlahan mengalihkan dukungan ke Partai Demokrat setelah Grant banyak melakukan penyimpangan saat menjabat.

Tentang Nilai Sebuah Berita

    Sebenarnya tidak diketahui secara pasti, siapa orang pertama yang mencetuskan adagiom "Bad News is Good News". Tetapi beberapa sumber literatur menyebut asal frasa itu bersumber dari Raja Inggris James I yang menyebut  "No news is better than evil news" (1616). Kata-kata ini yang kemudian diterjemahkan bahwa berita yang baik adalah mengenai sesuatu yang buruk. 

    Sama dengan adagiom "When a dog bites a man, that is not news. But when a man bites a dog that is news" yang juga tidak diketahui siapa pertama kali pencetusnya, tetapi beberapa sumber literatur menyebut kalimat yang digunakan untuk mendefinisikan "What is News?" ini memang familiar di kalangan jurnalis The New York Sun sekitar tahun 1800an. Sebut saja John B. Bogart, Amos Cumming, dan Charles A. Dana. Ada pula sumber yang menyebut Alfred Harmsworth, yang kemudian dikenal sebagai Lord Northcliffe, juga dianggap sebagai orang pertama yang menggunakan adagium itu untuk membuat definisi apa itu News.

    Dalam sebuah buku berjudul "The Stolen Story and Other Newspaper Stories" yang ditulis oleh Jesse Lynch Williams pada tahun 1899, pepatah tersebut diucapkan oleh karakter fiksi bernama "Billy Woods" dalam sebuah bab berjudul "The Old Reporter" . Woods bukan jurnalis yang berpendidikan tinggi, ia hanya berbekal pengalaman. Tulisan-tulisannya berbobot dan jika ditanya oleh jurnalis-jurnalis muda bagaimana mendapat berta bernilai tinggi, dengan cara yang sederhana dan mudah dipahami,  ia menggambarkan "Seekor anjing menggigit seorang pria' — itu sebuah cerita; 'Seorang pria menggigit anjing' — itu cerita yang bagus.  Buku ini mengantar Jesse Lynch Williams mendapat penghargaan Pulitzer, tetapi banyak yang beranggapan bahwa Jesse bukanlah orang yang pertama menggunakan pepatah itu, hanya mendengar sering diucapkan orang lalu menggunakan pepatah itu dalam bukunya.

    Versi lain menyebut, pepatah ini muncul dari statemen Charles A. Dana yang ditulis oleh sebuah koran di The Buffalo Commercial New York pada tahun 1902. Sebagaimana dirilis ulang dalam sebuah tulisan di Omaha Nebraska, ketika ditanya oleh Richard Harding Davis apa yang disebut berita, Charles A. Dana menjawab, "If you should see a dog biting a man, don't write it up. But if you should see a man biting a dog, spare not money, men, nor telegraph tolls to get the details to the Sun office." Tulisan inipun mendapat banyak tanggapan yang mengklaim pepatah itu berasal dari pernyataan Doc Wood. Menariknya, pernyataan aslinya tidak semenarik pepatah yang sudah beredar, dan nama yang disebutkan menyerupai nama karakter fiksi  dalam novel  The Old Reporter "Woods". Begini tertulis di Chicago Chronicel  : "Jika Anda melihat seekor anjing berlarian di Broadway dengan kaleng yang diikat di ekornya, itu tidak ada artinya. Tetapi jika Anda melihat seekor anjing dengan kaleng diikat ke ekornya — berjalan di Broadway, itu sangat berharga"

    Pepatah ini memang pada akhirnya digunakan banyak penulis dan peneliti ketika menulis tentang definisi jurnalistik,  tetapi kemudian definisi yang diungkapkan Charles A. Dana-lah yang paling sering digunakan untuk mendefinisikan apa itu berita. Pada 1917, dalam sebuah terbitan berkala "The Bookman" nama Charles A. Dana digunakan dalam kutipan definisi berita, dan kutipan itu digunakan di Oxford Dictionary of Quotations dan  Yale Book of Quotation. Prinsipnya, suatu peristiwa akan memiliki nilai berita apabila peristiwa itu tidak biasa dan diluar dugaan atau diluar ekspektasi. Definisi ini berkembang dengan munculnya statemen Arthur Brisbane (1912) dengan menambahkan bahwa berita itu tidak hanya melaporkan kejadian, tetapi juga bisa menciptakan kejadian, "If a dog bites a man it isn't news. But, if a man bites a dog, it is. Whenever you can't find a man biting a dog, go and bite one yourself."


Memaknai Definisi Berita A La Dana

    Dalam sebuah diskusi membahas soal ujian mid semester tentang kondisi pers di Indonesia, saya menyampaikan bahwa saya prihatin dengan dunia jurnalistik di Indonesia saat ini. Selain maraknya click bait di media-media online yang seringkali menyesatkan pembaca karena judul berita yang terlalu bombastis untuk informasi yang biasa-biasa saja, juga karena banyaknya berita prematur yang sengaja diedarkan dan menimbulkan kegaduhan, termasuk berita-berita sepihak yang tidak cover both side sehingga menyalahi prinsip-prinsip jurnalistik bahkan etika jurnalistik, dan juga keterlibatan media dalam keberpihakan kelompok politik tertentu yang membuat independensi media dipertanyakan dan obyektivitas berita diragukan. 

    Seorang mahasiswa mengungkapkan pendapatnya," Bukankah kinerja media memang seperti itu, bu ? Bad news is good news." 

    Saya memulai dari pernyataan riset Jeremy Iggers, bahwa ketidakpuasan publik terhadap pemberitaan media sering kali disebabkan oleh tidak terpenuhinya standar etika profesi jurnalis. Tetapi bagaimana jika kesalahan justru berawal dari standar etika itu sendiri ? Sekali waktu kita perlu mencermati UU  No 40 tahun 1999 tentang Pers dan UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran serta Kode Etik Profesi Jurnalistik. Kalau diperhatikan, aturan-aturan mengenai pers lebih banyak menghindari isu-isu penting yang berkaitan dengan kepentingan publik, tanggung jawab sosial pers terhadap publik, bahkan menghindari sanksi yang harus diterima pers jika melanggar  UU atau Kode Etik Profesi. Kepemilikan media dan organisasi media yang membuat kepentingan ekonomi menjadi lebih besar dibanding kepentingan ideal pers, tanpa disadari terus menggerus profesionalisme pers.

    Lalu kita akan berbicara mengenai masyarakat demokratis. Banyak insan pers yang selalu memaksakan pemahaman bahwa indikator sebuah negara dianggap demokratis itu ditandai dengan kemerdekaan berpendapat dan kebebasan pers. Tetapi sesungguhnya memaksakan kebebasan berpendapat dan kebebasan pers tanpa memperhatikan hak masyarakat untuk  mendapatkan informasi yang benar dan berimbang, tanpa memperhatikan kewajiban mencerdaskan kehidupan masyarakat justru membuat pers menjadi liberal bahkan pers yang otoriter, bebas tapi tidak mau dikontrol. Apakah kondisi membaik dengan "mendewakan" kebebasan pers ? Faktanya banyak institusi media yang gulung tikar, ditambah lagi dengan era media online dan masyarakat berjaringan yang membuat citizen & netizen journalistic merajai kehidupan sehari-hari masyarakat dan semakin meninggalkan media massa. 

    Seperti yang disampaikan Iggers, ketidakpuasan masyarakat sehingga meninggalkan media lebih disebabkan karena tidak dipatuhinya standar etika jurnalistik. Ketika masyarakat makin cerdas, tingkat literasi makin tinggi, pers juga harus mengimbangi dengan meningkatkan kualitas produk jurnalistik. masyarakat dan pers atau media itu seharusnya saling mendukung, saling menunjang. Maka membuat kode etik jurnalistik harusnya dimulai dengan mempertimbangkan peran media untuk menciptakan masyarakat yang demokratis dan sekaligus menyediakan cara bagaimana agar media berkontribusi pada penyelesaian masalah-masalah sosial. 

    Memang harus diakui, munculnya pepatah bad news is good news tidak lepas dari karakter manusia yang lebih meng-endorse informasi-informasi yang menakutkan ketimbang informasi yang menyenangkan. Sesungguhnya banyak indikator yang bisa digunakan untuk mengukur nilai sebuah berita, dimana sebuah berita dianggap memiliki nilai (news value) tinggi apabila menyangkut hal-hal berikut : 
  1. Magnitude (seberapa banyak sebuah berita atau informasi mempengaruhi masyarakat),
  2. Importance/significance ( seberapa penting sebuah peristiwa atau informasi bagi masyarakat),
  3. Proximity (kedekatan sebuah peristiwa baik secara geografis, ideologis, maupun secara psikologis dengan masyarakat), 
  4. Actuality/immediacy/newnews (baik aktual waktu maupun aktual persoalan), 
  5. Impact (seberapa besar sebuah peristiwa membawa dampak bagi masyarakat), 
  6. Unusualness (hal luar biasa, kejadian diluar dugaan atau sesuatu yang aneh/unik), 
  7. Prominance (menyangkut public figure), 
  8. Human interest ( peristiwa atau informasi yang menyentuh rasa kemanusiaan dan menimbulkan simpati) 
  9. Conflict (pertikaian)
  10. Sex, 
  11. Crime (kriminal)
  12. Humor  
  13. Trend (sesuatu yang viral)
    Nah, dengan sebegitu banyak indikator yang bisa menentukan nilai sebuah berita, haruskan kita mencari sisi bad news agar bisa mendapat sebuah good news ? Contoh, berita mengenai wabah. Tentang wabah itu sendiri sudah menjadikan berita bernilai tinggi karena menyangkut nasib banyak orang, aktual, penting, menumbuhkan awareness masyarakat. Cukuplah memberi informasi yang bisa membuat masyarakat tidak panik tetapi sekaligus waspada menghadapi wabah. Bukan malah memberikan informasi-informasi hyperreality yang menciptakan kegaduhan, suasana ketidakpastian, dan rasa pesimis dalam masyarakat.
       
    Mencari sisi buruk suatu kejadian harusnya ditujukan untuk upaya memperbaiki situasi sosial. Misalnya berita mengenai banjir dan perilaku masyarakat yang masih membuang sampah di saluran air. Memang bad news, tetapi ditujukan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat agar menjaga saluran air tidak dipenuhi sampah. Jadi, memaknai bad news is good news bukan dalam rangka menjustifikasi satu pihak, sekelompok orang, atau suatu kejadian.  Mengkritisi tanpa menjustifikasi. Dan memang pada dasarnya sebuah berita itu harus netral, berimbang, tidak memihak, tidak bercampur opini. Framing boleh, tetapi kaidah dan etika jurnalistik tetap harus diperhatikan.

    Demikian juga memaknai when a dog bites a man that's not news, but when a man bites a dog that is news sebenarnya lebih merujuk pada sebuah peristiwa atau kejadian yang luar biasa, menyentuh sisi-sisi yang tidak biasa dari sebuah pemberitaan, thinking out of the box, dan tetap harus ditujukan pada itikad baik untuk mencerdaskan masyarakat, memberikan informasi yang benar dan obyektif, serta memberikan kritik yang konstruktif agar terjadi perbaikan situasi sosial. 


Surakarta, 9 Pebruari 2021

 
    

Reference

https://www.researchgate.net/publication/324691223_Good_News_Bad_News_Journalism_Ethics_and_the_Public_Interest
http://brattleborowords.org/project/charles-anderson-dana-the-charles-dana-bridge-hinsdale-nh/
https://quoteinvestigator.com/2013/11/22/dog-bites/






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEKOLAHKU ADA DI TUMPUKAN BUKU

  "A wealth of information creates a poverty of attention" Herbert A. Simon ~ Pemenang Hadiah Nobel di bidang Ekonomi, 1978 Sudah ...