"Everyone is a buzzer, even though a buzzer for their self"
(@RyaWiedy)
Beberapa waktu terakhir secara bersamaan sejumlah pihak memprotes eksistensi "buzzer" di media sosial. Sebut saja budayawan Sudjiwo Tedjo, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, politisi PKS Mardani Ali Sera, komisioner KPK Novel Baswedan, Ketua YLBHI Asfinawati, bahkan Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers Arif Zulkifli.
Sebenarnya apa dan siapa yang disebut "buzzer" ? Apa bedanya dengan "influencer" ?
Istilah buzzer sebenarnya mengadopsi satu alat elektronik semacam alarm atau bel listrik. Dalam Oxford Dictionaries, buzzer didefinisikan sebagai "an electrical device that makes a buzzing noise and is used for signalling" atau satu alat elektronik yang digunakan untuk membunyikan dengungan, menyebarkan signal, atau tanda tertentu. Fenomena buzzer muncul sebagai konsekuensi era masyarakat berjaringan (network society) dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Centre for Innovation Policy and Government (CIPG) mendefinisikan buzzer sebagai individu atau lembaga yang memiliki kemampuan melakukan amplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian atau membangun percakapan. Umumnya, seorang buzzer mempunyai jaringan yang sangat luas sehingga mampu menciptakan konten sesuai konteks, mampu membangun narasi yang persuasif, dan bergerak atau bertindak atas motif tertentu. Ada dua motif utama yang menggerakkan seseorang atau sebuah akun menjadi buzzer : motif komersial dan motif ideologi.
Buzzer yang memiliki motif komersial umumnya memang bergerak karena adanya aliran dana dari pihak yang memanfaatkan jasanya. Sedangkan buzzer dengan motif ideologi pada umumnya bergerak atas dasar dukungan atau kesukaan terhadap suatu produk barang atau jasa, ide atau gagasan, termasuk dukungan terhadap kelompok tertentu. Bisa kelompok politik maupun kelompok non politik.
Pada awalnya buzzer ini sering digunakan dalam konteks marketing produk barang dan jasa, tugasnya mengamplifikasi atau menggaungkan iklan atau promosi melalui media sosial. Tetapi seiring dengan perkembangan konsep marketing yang menyasar pada marketing sosial, marketing ideologi, maupun marketing politik yang didukung oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, keberadaan buzzer kemudian banyak dimanfaatkan juga untuk kepentingan politik. Ini yang kemudian membedakan istilah buzzer dan influencer. Serupa tapi tak sama.
Yang dimaksud dengan influencer dalam konteks komunikasi media sosial adalah orang yang memiliki pengaruh di media sosial, memiliki jaringan sosial di real life maupun di media sosial. Seorang influencer pada umumnya memiliki banyak followers sehingga informasi-informasinya lebih mudah tersebar dan dipercaya. Informasi-informasi yang disampaikan tidak selalu tentang politik atau membawa misi politik seseorang, sekelompok orang, atau penguasa (rezim). Bisa informasi yang mengajak masyarakat untuk melakukan perubahan ke arah kemajuan yang positis atau aksi yang bermanfaat. Seringkali seorang influencer memiliki skill atau pengetahuan menonjol tentang satu bidang tertentu sehingga dapat meyakinkan publik, menguasai opini publik, dan sering menjadi rujukan atau sumber informasi bagi pengikutnya.
Sedangkan yang disebut dengan buzzer adalah orang atau lembaga yang mempromosikan atau mendengungkan sesuatu informasi secara berulang-ulang, bisa informasi mengenai produk barang atau jasa, ide atau gagasan tertentu melalui unggahan di akun media sosialnya. Berbeda dengan influencer yang pada umumnya merupakan tokoh publik, famous, memiliki kapasitas, kapabilitas, dan kredibilitas dalam bidang tertentu, seorang buzzer tidak terlalu mementingkan identitas dan segala atribut yang melekat pada seorang influencer. Bahkan seorang buzzer tidak mementingkan apakah ia memahami informasi yang ia dengungkan atau tidak, bahkan apakah informasinya benar atau salah. Tugasnya hanya mengulang-ulang atau mengamplifikasi sebuah informasi sehingga menguasai mind publik dan bisa menciptakan opini publik.
Konsekuensi Network Society
Konsep masyarakat berjaringan (network society) muncul sebagai dampak sosial dari era globalisasi dan kemajuan teknologi komunikasi elektronik dalam masyarakat. Manuel Castell dalam buku The Rise of The Network Society (2014) mendefinisikan masyarakat berjaringan (network society) sebagai "masyarakat yang struktur sosialnya terdiri dari jaringan yang didukung oleh teknologi informasi dan komunikasi berbasis mikro-elektronik". Konsep masyarakat berjaringan ini sebenarnya merupakan konsep lama, hanya saja di dalam struktur masyarakat berjaringan saat ini proses untuk membangun dan mempertahankan hubungan antar individu dalam jaringan difasilitasi oleh teknologi informasi dan komunikasi yang terus mengalami perkembangan.
Ada tiga hal yang menurut Castell menjadi penyebab munculnya struktur sosial baru di akhir abad 20 ini :
- Restrukturisasi ekonomi khususnya dibidang industri yang mendorong terbentuknya pasar terbuka secara global
- Maraknya gerakan sosial yang memperjuangkan kebebasan dan hak-hak sipil termasuk gerakan feminis (gender mainstream)
- Revolusi dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi
Struktur dalam jaringan komunikasi ini kemudian membentuk pembagian "kelas" antara siapa yang menjadi sumber informasi atau kelompok rujukan, siapa yang menjalankan instruksi berdasarkan informasi, dan siapa yang menjadi unrelevant group atau kelompok yang tidak berkontribusi signifikan dalam jaringan. Nah... dari sini kita akan terhubung dengan teori jaringan komunikasi yang dikembangkan oleh Paul Lazarsfeld, Robert K. Merton, Everett M. Roger, Linton C. Freeman, dan masih banyak lagi ilmuwan yang semuanya berbasis pada keilmuan Sosiologi dan mengambil fokus pada kajian tentang perubahan sosial.
Secara prinsip, teori jaringan komunikasi menjelaskan bagaimana proses terbentuknya fenomena komunikasi yang berkaitan dengan relasi antar aktor dalam jaringan, menunjukkan posisi dan kekuatan masing-masing aktor dalam sebuah struktur jaringan, dan membandingkan peran aktor dalam sebuah struktur jaringan dan antar struktur jaringan. Dalam teori jaringan komunikasi, aktor yang menjadi pusat informasi dinamai star yang berperan sebagai opinion leader. Opinion leader ini adalah tokoh publik yang berperan mempengaruhi masyarakat dan menjadi rujukan bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi mengenai sesuatu hal yang pada gilirannya membawa masyarakat pada sebuah proses perubahan sosial.
Yang bisa menentukan terjadinya perubahan sosial berdasarkan teori ini adalah "kekuasaan" , yakni kemampuan untuk memaksakan keinginan seseorang atau sekelompok orang terhadap orang lain. dalam konteks masyarakat berjaringan, yang dimaksud kekuasaan adalah kontrol atau pengaruh atas proses komunikasi. Itu sebabnya konektivitas dan akses ke jaringan sangat penting bagi kelompok sosial tertentu agar bisa memaksakan nilai-nilai dan tujuan mereka kepada masyarakt luas. Bisa juga "pemaksaan"ini dilakukan dalam rangka melawan dominasi kelompok lain.
Naaah..... dalam konteks masyarakat berjaringan di ruang digital, posisi star atau opinion leader inilah yang biasa kita kenal sebagai buzzer dan influencer. Mereka ini adalah orang-orang yang memunculkan satu narasi tertentu dan mengamplifikasi narasi tersebut sehingga melekat di mind publik lalu menghasilkan opini publik yang menguasau ruang digital di media sosial.
Setiap Orang adalah Buzzer
Di era masyarakat berjarinan seperti sekarang, konektivitas antar individu maupun organisasi baik dalam konteks ekonomi, politik, maupun sosial-budaya nyaris tanpa sekat. Internet memungkin informasi yang ada di area publik masuk ke ruang-ruang privat melalui perantaraan alat komunikasi yang teknologinya terus berkembang menjadi media konvergens. Kondisi seperti ini tidak terjadi pada masyarakat tradisional dimana hubungan antar individu dipisahkan oleh ruang geografis dimana dalam setiap ruang geografis berlaku norma, adat istiadat, dan budaya yang harus ditaati. Setiap individu yang masuk ke dalam ruang geografis itu harus menyesuaikan diri dengan berbagai aturan yang berlaku.
Dalam masyarakat global seperti sekarang, sekat-sekat geografis itu nyaris tak ada. Dari ruang privat kita bisa terkoneksi dengan milyaran individu dari berbagai penjuru dunia. Dengan sendirinya aturan-aturan yang berlaku di semua ruang geografis menjadi tidak berlaku di ruang digital, melebur dalam satu moral landscape baru yang mengatur perilaku dan interaksi antar individu dalam tatanan masyarakat berjaringan di ruang digital global.
Banyak persoalan baru dalam praktik komunikasi di era ini, lebih disebabkan karena gap yang sangat lebar antara kecepatan perkembangan teknologi komunikasi dengan kemampuan orang memanfaatkan teknologi komunikasi. Media sosial online mengunakan perangkat utama telepon seluler meskipun bisa menggunakan perangkat lain seperti laptop dan tablet. Dengan teknologi yang semakin canggih, perangkat komunikasi ini memberikan banyak fitur cerdas yang sebenarnya bertujuan memudahkan kinerja penggunanya. Sayangnya, kecerdasan teknologi tidak selalu dibarengi oleh kecerdasan penggunanya. Bagi praktisi strategi komunikasi, kondisi ini membawa keuntungan dan menjadi sebuah peluang. Sebuah informasi tidak hanya disebarkan, tetapi juga dimodifikasi sedemikian rupa sesuai tujuan pemberi informasi. Dan dari sini kita bisa melihat dengan jelas bagaimana buzzer dan influencer bekerja.
Dalam perspektif komunikasi, kita kan melihat proses komunikasi di ruang digital ini dalam dua bentuk : komunikasi satu arah (one way communication) dan komunikasi banyak arah (multy-directional communication). Jika komunikasi berlangsung satu arah, maka konten pesan hanya akan diterima mentah-mentah oleh penerima pesan. Ini sama dengan teori klasik hypodermic needle, pesan diinjeksikan ke penerima pesan dengan asumsi penerima pesan bersifat pasif tanpa bersikap kritis. Di dalam sebuah jaringan komunikasi, karakter komunikasi yang seperti ini menunjukkan anggota jaringan yang lemah, dan bahkan dapat dilemahkan oleh pemberi pesan. Di ranah ini buzzer bekerja. Tidak penting apapun isi kontennya yang penting diamplifikasi, digaungkan berulang-ulang sehingga tertanam dengan baik di benak publik.
Jika komunikasi dilihat sebagai proses edukasi yang melibatkan diskusi antar anggota dalam jaringan, maka peluang untuk mengembangkan ide-ide baru yang lebih inovatif bisa diharapkan terjadi. Setiap anggota jaringan saling memberi kontribusi pemikiran dan berbagi pengetahuan yang memberdayakan sehingga individu dan komunitas dalam jaringan semakin meningkat kualitas pengetahuannya. Di ranah ini seorang influencer terlibat aktif dalam diskusi karena memiliki pengetahuan yang cukup mengenai konten pesan yang didiskusikan. Orang yang berposisi sebagai influencer ini bisa sekaligus sebagai buzzer yang bertujuan menanamkan sebuah pengetahuan atau nilai-nilai di benak publik.
Model jaringan komunikasi yang seperti ini bisa menjadi modal sosial yang baik untuk mendorong sikap atau dukungan publik terhadap sebuah kebijakan, inovasi baru, atau gagasan-gagasan yang ingin dikembangkan termasuk dukungan terhadap sebuah produk barang atau jasa tertentu. Itu sebabnya setiap kelompok atau organisasi selalu memiliki buzzer atau influencer, baik yang dibayar maupun yang tidak dibayar.
Pun setiap orang sejatinya adalah buzzer untuk dirinya sendiri, karena dengan mengkomunikasikan ideologi, nilai-nilai yang dianut, atau pengetahuan tertentu melalui akun media sosial miliknya, sesungguhnya ia sedang berusaha melakukan positioning sehingga akunnya teridentifikasi dalam sebuah jaringan. Seseorang dapat membawa nilai-nilai pribadi yang ditawarkan kepada publik termasuk menyebarkan informasi dan inovasi baru yang bermanfaat untuk publik. Sebagaimana dalam ilmu publik relation berlaku teori bahwa setiap orang adalah PR bagi dirinya sendiri, demikian juga buzzer dan influencer. Konten pesan yang dibawa menjadi identitas bagi dirinya sekaligus mewarnai identitas kelompok dalam jaringan dimana ia terlibat sebagai anggota.
Naah, stigma buruk yang sekarang melekat pada aktor bernama buzzer ini sesungguhnya terkait dengan konten pesan yang diusung. Peran buzzer sebagai penggaung informasi yang efektif di media sosial dan semula digunakan untuk tujuan marketing kini bergeser sebagai pelaku propaganda terutama sejak digunakan dalam kampanye dukungan politik. Stigma semakin buruk ketika konten pesan yang didengungkan berisi dukungan membabi-buta terhadap pihak tertentu, berisi hasutan bahkan hoaks sehingga merusak nalar publik, dan paling parah digunakan untuk menyerang kelompok yang berseberangan.
Meski demikian kita tidak bisa mengingkari fakta bahwa semua pihak memiliki buzzer dan influencer. Tidak semua buzzer buruk. Yang menentukan pakah buzzer itu baik atau buruk adalah konten pesan yang digaungkan. Maka tidak tepat jika kita memberi label pada orang lain sebagai buzzer karena mendukung nilai-nilai atau kelompok yang bersebarangan dengan kita, sementara kita sendiri mendengungkan nilai-nilai atau kelompok yang berseberangan dengan orang lain.
It's funny when buzzer shouted buzzer.